DPR Tolak Sejumlah Poin Revisi UU Pilkada

Sebanyak lima fraksi di Komisi II DPR RI menolak pemberian sanksi kepada partai politik yang tidak mengusung calon dalam Pilkada 2017. Sanksi politik yang dimaksud ialah larangan mengusulkan calon pada Pilkada selanjutnya.

Hal itu termaktub dalam Pasal 40 ayat 2 rancangan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

“Kami usulkan dihapus karena partai dan gabungan partai politik tidak perlu dipaksakan mengusung,” kata Legislator Partai NasDem Tamanuri di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (15/4).

Hal itu disampaikannya saat rapat kerja perdana membahas rencana revisi UU Pilkada bersama Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo. Perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, dan DPD, Ahmad Muqowam turut menghadiri rapat.

Penolakan juga diberikan Fraksi Partai Amanat Nasional. Legislator PAN Sukiman menuturkan, pemberian sanksi itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berdemokrasi. Fraksi PAN berpendapat, demokrasi mengenai menentukan dan tidak menentukan pilihan.

Tiga fraksi lainnya yang keberatan dan meminta peninjauan ulang soal ini ialah Fraksi PPP, Demokrat dan PDIP. Legislator PDIP Arif Wibowo menuturkan, parpol dapat memandang belum perlu mencalonkan kadernya karena keyakinan politik tertentu.

“Menghitung situasi dan kondisi di lapangan. Maka parpol lebih fokus pada konsolidasi dan penguatan basis,” ucap Arif.

Tak Perlu Mengundurkan Diri

Sejumlah fraksi juga menolak aturan pengunduran diri anggota dewan yang hendak menjadi kepala daerah. Legislator Partai Gerindra Sareh Wiyono menuturkan, aturan itu mengabaikan fungsi parpol melakukan pendidikan politik.

Menurutnya, keharusan mengundurkan diri, tidak adil bagi anggota dewan. Anggota dewan merupakan kader terbaik partai yang secara substansi ialah calon pemimpin daerah.

“Cukup cuti di luar tanggungan negara sampai ditetapkannya calon terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum,” tutur Sareh.

Aturan pengunduran diri diatur menyusul putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. MK memutuskan, anggota dewan wajib mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah.

Penolakan turut diberikan Fraksi Golkar. Politikus Partai Golkar Hetifah Sjifudian sepakat jika anggota dewan hanya perlu cuti saat memproses pencalonan diri menjadi kepala daerah.

Perwakilan DPD Ahmad Muqowam berpendapat, aturan pengunduran diri anggota dewan tidak perlu diatur dalam undang-undang. “Tidak perlu mencantumkan DPR, DPRD, DPD dan Provinsi. Biar itu hanya mengatur TNI, Polri dan PNS,” katanya.

Tolak Ambang Batas Parpol

Selain itu Wakil Ketua Fraksi PDIP Arif Wibowo berpendapat, kenaikan syarat dukungan calon independen perlu menyesuaikan ambang batas calon yang diusung parpol. “Setidaknya disesuaikan secara proporsional dengan perolehan kursi DPRD dan suara pemilu,” katanya.

Pasal 40 draf revisi beleid mengatur, parpol dapat mendaftarkan paslon jika memenuhi 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum DPRD.

Sementara itu, calon independen dapat mencalonkan diri jika sudah mengantongi dukungan 6,5-10 persen jumlah penduduk yang menjadi daftar pemilih tetap (DPT). Persentase dipengaruhi jumlah penduduk yang terdaftar sebagai DPT.

Legislator PPP Amirul Tamim berpendapat, ambang batas parpol perlu dihilangkan. Menurutnya, itu akan memberi ruang bagi tokoh berpotensial. Persentase ambang batas membuka diberikannya mahar politik calon ke parpol.

“Ketentuan ini membatasi parpol dan berimplikasi pada terbatasnya keikutsertaan parpol,” tuturnya,

Komisi II DPR RI sebelumnya mengusulkan kenaikan syarat dukungan calon perseorangan menjadi 10-15 persen daftar pemilih tetap (DPT). Hal ini belum diakomodir pemerintah. Permintaan kenaikan menyusul dinaikkannya syarat dukungan calon dari partai politik naik lima persen menjadi 20 persen dari jumlah suara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *