Ermas Andio Syamda: Rezim Reformasi Gagal, Kenapa?

Ermas Andio Syamda: Rezim Reformasi Gagal, Kenapa?Akhir Agustus 2018 figur Ir. KH. Ermas Andio Syamda (58) yang biasa disapa Buya Ermas, dikenal juga sebagai pengamat reformasi, mengunjungi Kawasan Eko Wisata dan Budaya Alam Santosa Pasir Impun, Cimenyan Kabupaten Bandung. Ini kediaman Eka Santosa, politisi dan pengamat budaya serta lingkungan yang merupakan salah satu’ poros pergerakan’ di Jawa Barat.

Bagi Ermas, lulusan Fak Teknik Unpas Bandung tahun 1988, yang juga selaku aktivis di BEM era 1985 – 1987 pada institusi pendidikan ini. Ini pun dilakoninya sambil berkarir di IPTN Bandung 1982-1993, dengan jabatan terakhir Ass. Vice Presiden. Hingga kini pun Ermas yang senang berorganisasi sejak masa kecilnya, ‘hobinya’ ini diteruskan dengan memegang beberapa perusahaan di Jakarta dan tempat lainnya di Indonesia.
Intinya antara bisnis dan pergaulan sosial-kemasyarakatan “harus berdampak significant bagi perubahan hidup, termasuk secara polilis pun. Hal ini sering ia lontarkan dalam setiap pertemuannya dengan siapa pun. Cita-citanya, menjadikan Indonesia meraih kemakmuran bagi segala lapisan masyarakat, tak surut sedikit pun ia upayakan dengan berbagai cara bersama rekan-rekannya di segala lini.
Redaksi sempat mewawancarai Ermas secara sekilas, inilah cuplikannya …

Maksud kehadiran Anda ke Alam Santosa Pasir Impun, tempat Eka Santosa tinggal bersama komunitasnya yang menaruh perhatian pada maslaha lingkungan dan budaya di Jawa Barat khususnya?

Ermas : Sangat menarik dan telah lama saya ingin mengunjunginya, tentu bertemu dengan tokoh Jabar Kang Eka Santosa. Bersyukur, bisa bertatap muka dengan laluasa. Banyak hal kami bincangkan, termasuk perihal sebelum dan sesudah reformasi 1998 yang masih kita rasakan dampaknya dengan segala varian. Beginilah, akhirnya tiba kami pada satu titik kesepahaman – reformasi itu kebablasan dalam konteks sisitem ketata-negaraan kita. Saya utamanya bersama rekan-rekan, merasa kecewa …dan terus berupaya memperbaikinya sesuai kemampuan.

Dimana poin kekecewaan atas jalannya reformasi ini ?

Ermas: Mau tahu aja nih Bung?! Menurut saya yan paling telak itu dimualai hilangnya Timor Timur. Itu di era Presiden BJ Habibie. Ganti Presiden Gusdur ada Bulog Gate, ini menjadikan ia mundur. Selanjutnya, era Presiden Megawati, masih ingat pulau sepadan hilang? Lalu penjualan aset negara secara besar-besaran, termasuk penghapusan dan pengampunan hutang BLBI. Berganti era Presiden SBY, kasus korupsi pun meraja-lela. Imbasnya, eksistensi partainya (pendukung utamanya) di era SBY pun, jatuh kembali perolehannya di level legislatife. Nah, terakhir di era Presiden Jokowi, ditengarai pembangunannya hanya berorientasi investor asing. Terakhir, kini suhu politik terus bergejolak. Ditengah strategi pembangunan infrastruktrur yang cukup masif, mata uang kita pun ada tanda-tanda khawatir akan terpuruk. Pada titik ini, kita harus waspada (sambil tersenyum).
Hal lain secara prinsip, perihal kekecewaan Anda, masih adakah?

Ermas: Ini yang sangat mengecewakan saya. Hampir tanpa ijin rakyat dan bangsa, UUD 1945 dirubah oleh MPR dan DPR. Paling menggenaskan, dilakukan amandemen empat kali. Habislah enerji bangsa, hanya untuk memperebutkan kekuasaan. Disana-sini terjadi sengketa pilkada dan pileg. Yang utama lainnya, Pancasila sebagai way of life kembali dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan pihak tertentu. Kita sepertinya kembali kehilangan arah …

Contoh implementasi “menyimpang” di lapangan yang mengecewakan, seperti apa?

Buya: Paling dekat, selama reformasi, wakil rakyat, wali kota/bupati,maupun gubernur serta para menteri, termasuk anggota DPD, dan pimpinan partai, mereka hampir berjamaah melakukan korupsi di merata tempat. Ada lebih dari 450 pejabat negara melakukan kegiatan rasuah. Ini masuk ranah criminal yang dicerca rakyat, namun terus saja berjalan dengan “tertib”. Terakhir, yang miris 41 anggota DPRD Kota Malang digiring ke KPK. Inikah buah reformasi itu? Sebagai sebuah bangsa, amat malu merasakannya …

Adakah jalan keluarnya dari kemelut ini?

Buya: Singkat saja menurut saya, kembali ke Undang-undang Dasar 1945 yang asli! Dan, jadikan Pancasila sebagai dasar negara secara utuh. Lalu, bangunlah ekonomi kerakyatan yang berbasisi keadilan dalam segala aspek kehidupan. GBHN atau semacam Rencana Pembangunan Lima Tahun, tata kembali. Janganlah setiap pergantian pimpinan negara, kita membuat rencana pembangunan yang baru, bukan yang berkesinambungan. Makanya, arah ini harus kita benahi bersama, jangan seenaknya arah bernegara dan berbangsa sesuai selera kalangan tertentu saja!
Bukankah pada era sebleum reformasi yang dikenal sebagai era orde baru selama 32 tahun, hal yang hampir serupa, kekuasaan hampir ‘absolut’ pada satu pihak? Dan, fenomena ini, berujung mengguncang Indonesia, muncul reformasi yang mengakhirinya?

Buya: Saya akui hal yang menguncang pada orde baru itu, justru janganlah terulang pada era reformasi yang katanya mengusung pembaruan bagi bangsa kita, namun nyatanya selama 20 tahun sejak 1998, kita masih berkutat dengan tingkat kesejahteraan yang belum sesuai UUD 1945 . Inilah tantangan kita, mari menatap dan membangun Indonesia yang serba baru. Diakui pada era orde baru, ada kelemahannya. Marilah, kita bersama-sama jangan mengulang kesalahan yang sama. Bangsa ini harus belajar dari sejarah yang “gagal” di masa lalu, mencari jikmahnya demi perbaikan di masa mendatang. Itu yang harus kita lakukan, tiada lain! (HS/GUN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *