Mie & Nasi Goreng “Legenda” Pak Suyud di Bandung

Mie & Nasi Goreng “Legenda” Pak Suyud di BandungIni hal selera kuliner Bung! Legenda hidup dari kota Bandung. Muncul, sejak era Kemerdekaan RI pada 1945! Namanya Mie & Nasi Goreng Pak Suyud, lokasi di Perempatan Jalan Mangga dan Belimbing kota Bandung.

Lokasi tepatnya, di halaman Toko Cairo. Ini pun toko legendaris, berdiri sejak 1919 ! “Dulu Pak Suyud berkeliling di sekitar Jalan Mangga, sambil dipikul. Salah satu tempat mangkalnya, sejak 1945 hingga 1960-an, di depan Toko Cairo,” jelas Abah Landoeng (91) pria pegiat lingkungan dan anti korupsi, yang juga dikenal selaku figur “Guru Oemar Bakri dari lantunan penyanyi balada Iwan Fals.

”Pak Suyud Abah kenal secara pribadi sebelum tahun 60-an. Beliau mangkat pada usia 90-an pada tahun 1992. Tinggalnya, dulu di Cikaso mulai 1945 – 1986. Tepatnya di seberang markas Band The Rollies,” kata Abah Landoeng sebagai pengundang di acara “makan-makan” ala tempo doeloe di kuliner Pak Suyud.

Yang unik dari legenda kuliner Bandung ini, hidangannya dimasak dengan cara kuno. Memakai anglo (tungku) seperti yang dulu kerap dibawa Pak Suyud pada masa jayanya, berkeliling tempat. Bedanya, di jaman now dinyalakan dengan cara diputar, digowes tangan seorang asisten. Terjadilah, panasnya api dari arang ini menjadikan masakan yang punya rasa lain. Asali atau klasik, kata banyak orang tentang rasa masakan akulturasi khas ini. Mie, bukankah dari daratan Tiongkok sana?

”Ada aroma arang terbakar di mie dan nasi goreng ini,” papar Yance (52) pelancong asal Karawang yang dulu ketika masih mahasiswa pernah indekos di belahan Cicadas – “Ini nostalgia saya di warung Pak Suyud saat kuliah.”

Kata Abah Landoeng, sang pengundang kali ini, soal kuliner Mie dan Nasi Goreng Pak Suyud:”Pada tahun 1955 serta sebelumnya, sajian ini sering dipesan para pejabat. Suka dibungkus, dipesan khusus untuk pejabat negara yang menginap di Hotel Savoy Homann atau Hotel Grand Preanger. Pokoknya lekker dan top-lah”

Porsi Besar

Nah, serba sedikit soal toko Cairo yang kini menjual barang seperti warung jaman now. Ternyata, punya kisah cukup unik. “Toko Cairo dulu jualan barang cukup lengkap. Bangunannya sejak 1919. Lebih dulu dari Gedung Sate tahun 1926,” jelas Abah Landoeng – “Hanya orang berduit yang bisa berbelanja di toko ini.”

Dulu pemiliknya bernama Tuan Liong. “Sekarang diurus oleh anaknya Ibu Apin.” Pak Suyud, jelasnya menyewa halaman Toko Cairo sampai sekarang, yang diteruskan anaknya – Ibu Sani.

Boleh disebut, ada semacam persahabatan abadi antara Tuan Liong dan Pak Suyud. Kini turun ke generasi ke dua. Bisakah hingga ke generasi ke tiga – Wallahuallam bisawab …

Info penting lainnya, ada susunan daftar harga yang unik. Tercantum kata “porsi besar”. Rinciannya, Nasi Goreng, Nasi Mawut, Mie Goreng, Mie Kuah, Bihun Goreng, dan Cap Cay terdiri atas 1 porsi besar Rp. 35.000; ½ porsi sedang Rp. 20.000, kecuali Ayam Cha 1 porsi besar Rp. 100.000 dan ½ porsi sedang Rp. 60.000.

“Bisa dipesan juga…,” kata Ibu Sani dengan nomor telepon tertentu – “Pokoknya, siap antarlah ke seputar Bandung.”

Saling Kenal

Sedikit cerita soal kenapa sampai sekarang banyak orang-orang di Jakarta dan kota lainnya sengaja makan di sini? Hebatnya, kerap pula memesan beberapa bungkus untuk para kerabantnya di luar kota itu?

Cerita Ibu Sani, Ayahnya dahulu berhubungan dengan konsumennya dengan pendekatan kekerabatan secara khusus. “Jadi yang melanggan sebelum dan sesudah tahun 1960-an itu sekarang mungkin jadi kakeknya. Yang datang ke sini dari Jakarta atau Tangerang itu anak dan cucunya. Seperti itulah pelanggan kami”

Lucunya, masih kata Ibu Sani yang kini berseragam pakaian pangsi hitam-hitam dengan bersampir kain batik di lehernya:”Sering Ayah bercerita, ada pelanggan para mahasiswa indekos tahun 1970-an ngutang dengan jaminan baju. Alasannya, belum dikrim wesel dari orang tuanya.”

Lalu apa yang dilakukan Pak Suyud kala itu?”Baju jaminan itu, silahkan dibawa pulang lagi. Bayarnya, bisa kapan saja. Soal ini masih berlaku sampai sekarang. Boleh nganjuk (ngutang), utamanya kalau sudah kenal,” jelas Ibu Sani sambil tersenyum –“Tentu jaminannya bukan baju, tetapi kita harus saling kenal saja.”

Pembaca, boleh coba: Mau porsi besar atau sedang? Itu pertanyaan yang biasa menghadang bila kita berkunjung ke warung Bu Sani yang legendaris itu di halaman Toko Cairo yang bersejarah. Terima kasih Abah Landoeng, ternyata di Kota Paris van Java ini masih ada tetinggal kuliner yang asali dan unik, enak dan sehat pula. Selamat mencoba. (HS/SA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *