Keprihatinan Untuk Korban Perkosaan

Keprihatinan Untuk Korban PerkosaanBerita tentang nasib pahit WA, 15, remaja asal Jambi yang menjadi korban perkosaan mengundang simpati dari berbagai pihak. Ghafur Dharmaputra, Plt Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak di Kantor Kementerian Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyatakan keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, setelah menjadi korban kejahatan seksual oleh kakak kandungnya sendiri yang berusia 18 tahun, ia hamil. Dan atas desakan ibundanya, WA menjalani aborsi. Kesudahannya, WA masuk penjara.

Vonis penjara 6 bulan dijatuhkan hakim di Pengadilan Negeri Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, 19 Juli lalu. Ia dianggap terbukti melakukan kejahatan aborsi.  Lengkap sudah derita WA, bak jatuh tertimpa tangga pula. ‘’Secara kemanusiaan, peristiwa semacam ini sangat tragis. Jangan sampai terulang,’’ ujar Ghafur ketika ditemui di kantornya, Gedung Kemenko PMK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta (27/7/2018).

Yang disayangkan Ghafur, ketika menghadapi musibah WA dan keluarganya seperti sulit mendapatkan bantuan. Semestinya, menurut Ghafur, apatur daerah bisa menjembatani masalah ini agar masuk ke koridor yang benar. ‘’Dinas Sosial atau Dinas Kesehatan bisa mengulurkan bantuan, dan mendampingi korban seperti WA untuk mencari solusi yang terbaik,’’ Ghafur menambahkan.

Menurut Ghafur, berdasarkan UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, juga Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, secara umum aborsi itu dilarang, namun ada beberapa pengecualian. Pasal 75 ayat (1) dan (2) pada UU nomor 36 tahun 2009 misalnya, ada klausul bahwa aborsi dimungkinkan dalam situasi kedaruratan medis (mengancam nyawa sang ibu) dan/atau kehamilan yang dapat menyebabkan trauma medis bagi korban (ayat 2). Namun, tak berarti aborsi bisa dilakukan begitu saja. Seperti diatur dalam PP 61/2014 pasal 31, usia kehamilan paling lama 40 hari, dan sebelum aborsi korban harus menjalani serangkaian konseling.

Ghafur mengakui bahwa sebagian besar warga awam terhadap aturan hukum ini. Justru menjadi tantangan para aparatur di daerah, sebagai kepanjangan tangan aparatur pusat, untuk memberikan edukasi dan pelayanan jika menghadapi kasus semacam WA di lapangan. ‘’Meskipun, itu tidak mudah, karena biasanya keluarga korban kekerasan seksual  banyak yang memilih menutup diri,’’ Ghafur menambahkan.

Akan halnya tentang keputusan pengadilan, Ghafur menyatakan ‘’Saya menyampaikan simpati kepada WA. Soal hukumnya, biarlah para pakar hukum yang membahasnya,’’ kata pejabat Kemenko PMK itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *