Agroekologi, Pesan Perubahan Dari Pesantren Ekologi

Cap pesantren sebagai institusi yang ketinggalan zaman membuat Nissa Saadah Wargadipura menjadi gelisah, bukan modernisasi yang ia tawarkan tapi Pesantren Ekologi sebagai ruang gerakan pengabdiannya pada Sang Khalik. Pesantren ini ia dirikan bersama sang suami, Ibang Lukman Nurdin, saat ini, mereka berdua masih giat mengajak masyarakat untuk menghidupkan ekonomi keluarga lewat konsep Agroekologi dan mendidik santri untuk selalu menanam dengan sukacita.

Pesantren Ekologi, pesantren non-mainstream yang berlokasi di Jawa Barat ini sangat menekankan Agroekologi sebagai sebuah alternatif untuk meningkatkan ekonomi keluarga. “Agroekologi adalah pertanian yang tidak merusak, tapi memulihkan. Agroekologi adalah anti tesis dari Agrobisnis,” kata Nissa di Garut, Rabu (15/8)

Secara ringkas Nissa menambahkan,  Agroekologi merupakan pertanian cinta kasih, saling melindungi dan saling menguatkan. “Ekosistem di Bumi merupakan sistem holistik yang tidak terpisah dan saling terkait,” ungkapnya.

Aktivitas Pesantren Ekologi bukan hanya sebatas mengaji, tapi gigih berjuang untuk menjaga keseimbangan alam. “Kami juga bertadabbur dengan alam, menjadi khalifah (pengurus) alam yang berupaya menjaga ekosistem alami,” tambah Nissa.

Pesantren ini juga menolak penggunaan pestisida, “Bagi kami, pestisida bukan obat tapi racun yang mengalir dalam ekosistem kita dan menyebabkan terputusnya mata rantai kehidupan alami,” kata Nissa

Lewat dakwah di Pesantren Ekologi, Nissa mengajak masyarakat untuk meninggalkan penggunaan pestisida serta tidak lupa memberikan alternatif untuk menggunakan musuh alami hama, “Alam sudah seimbang dengan adanya mata rantai makanan, jadikan tikus dan ular bukan musuh tapi teman yang menyeimbangkan alam,” ajak Nissa yang pernah mendapatkan beasiswa Agroecology and Organic Food System  dari Dr. Vandana Shiva di Earth University Navdanya India.

Nissa pula turut prihatin dengan industrialisasi yang memusnahkan keanekaragaman hayati, ia menawarkan alternatif berupa Agroekologi dan Pembangunan Keberlanjutan yang berpihak kepada keseimbangan “Manusia terlalu rakus, sehingga berlebihan dalam mengeksploitasi alam, maka gerakan kami merupakan gerakan kemandirian yang berupaya membangun pola interdependensi dengan alam, bukan eksplotasi,” tegasnya.

Dalam memaknai Gerakan Indonesia Mandiri, Nissa mengajak masyarakat untuk mandiri di sektor pangan, baginya, nenek moyang bangsa Indonesia  gemar menanam, “Kami mengajak santri dan warga sekitar untuk kembali menanam dan itu berhasil kami terapkan. Lalu apa yang jadi makanan pokok sehari-hari adalah hasil dari apa yang kami tanam,” tandas Nissa dengan semangat kemandiriannya.

Nissa pula bercerita soal aktivitas di luar Pesantren Ekologi, didukung oleh Gugus Tugas Revolusi Mental di Provinsi Aceh beserta perangkat desa di Kawasan Leuser Aceh Tenggara, ia menerapkan agroekologi yang mampu menjadi nilai ekonomi tambahan masyarakat. “Baru kemarin saya mendorong masyarakat di Leuser agar berubah untuk memanfaatkan tanaman herbal dan potensi alam sekitar dengan bijak, terutama lewat Agroekologi, supaya masyarakat mandiri dan tidak selalu membeli,” ungkapnya.

Harapan besar pendiri Pesantren Ekologi ini, bila komunitas lain, baik itu masyarakat sipil, pemerintah dan swasta, kembali terus bergerak mencintai tanah air dengan menanam kebaikan lewat budidaya tanaman yang mengandung banyak manfaat. “Kita dilahirkan di negara agraris, seyogyanya mengedepankan perekonomian keagrarian sebagai garda terdepan. Gunakanlah lahan lahan kosong untuk kembali menanam, dengan cara apapun, asalkan cara yang alami yang tidak merusak diri sendiri, keluarga dan lingkungan,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *