Kisah Ammar bin Yasir, Istiqomah Berbuah Surga

Kisah Ammar bin Yasir, Istiqomah Berbuah Surga

Ammar bin Yasir atau dikenal juga sebagai Abul Yaqzan merupakan golongan pertama yang memeluk agama Islam. Ia adalah sahabat nabi yang setia dan dicintai Nabi Muhammad SAW berkat pengabdian dan dedikasinya dalam memperjuangkan agama Islam.

Ammar terlahir dari orang tua kalangan budak, Yasir bin Amir dan Sumayyah binti Khayath. Keluarga Ammar telah memeluk Islam lebih dulu sebagaimana orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah.

Tak heran, keputusan memeluk Islam membuat mereka mendapat berbagai siksaan dan kesulitan dari kaum Quraisy di bawah pimpinan Abu Jahal saat itu.

“Jikalau orang beriman itu berasal dari kelompok yang lemah dan miskin atau budak-budak Mekah, mereka mencambuk dan menimpakan api yang membara terhadapnya. Keluarga Yasir adalah kelompok ini,” tulis Khalid Muhammad Khalid dalam buku Biografi 60 Sahabat Rasullah SAW tentang Ammar bin Yasir, Laki-Laki Penghuni Surga.


Yasir, Sumayyah, dan Ammar setiap hari tak luput dari siksaan keji dan mengerikan. Namun hal tersebut tak melunturkan keimanan dan keyakinannya sebagai kaum Mukminin.

Mengetahui Yasir disiksa, Rasulullah tak tinggal diam meski saat itu Rasulullah belum memiliki kekuatan besar untuk melawan gangguan dari kelompok Abu Jahal.

Pengorbanan luar biasa dari keluarga Ammar mencerminkan keteguhan sejati pada agama yang ditegakkan.




Sumayyah, Yasir, dan Ammar adalah bagian dari kelompok yang dipilih oleh takdir Islam untuk membentuk kekukuhan berupa pengorbanan, keteguhan, serta kesabaran bagi kaum Mukminin berikutnya.

Sampai pada suatu hari Rasulullah menjenguk Ammar dan memanggil beliau, “Wahai Rasulullah, siksa ini sungguh berat bagi kami.”

Rasulullah menjawab, “Bersabarlah wahai Abul Yaqzhan. Bersabarlah wahai keluarga Yasir karena tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga!”

Banyak hadis yang menggambarkan teror pedih yang menimpa Ammar lantaran dipaksa menjadi kafir. Tetapi segala teror itu sama sekali tidak melukai jiwa Ammar. Hanya melukai tubuh dan melemahkan energinya.


Ammar tidak benar-benar merasa dibinasakan, kecuali pada suatu hari ketika para algojo menjadi semakin beringas.

“Penyiksaan itu mulai dari disetrika dengan api, disalib di atas halaman berpasir yang panas, hingga ditindih di bawah batu yang membara bahkan ditenggelamkan di dalam air hingga tidak bisa bernapas pun ia alami,” tulis Khalid.

Ammar mampu menanggung siksa yang menimpa tubuhnya karena jiwanya tetap kukuh, berdiri tegak. Namun, sekarang ia merasa bahwa jiwanya telah kalah. Kesedihan dan ketakutan yang kini menyelimuti perasaannya itu hampir saja membuatnya mati.




Namun Allah menghendaki agar pemandangan yang mengesankan itu mencapai puncak keagungannya, dan dibisikkan wahyu: “Bangunlah wahai pahlawan. Tidak ada celaan maupun kesempitan bagimu!”

Ammar kembali tenang. Ia tidak lagi merasakan siksa yang tertumpah kepadanya sebagai derita. Kini ia tidak lagi menghiraukannya. Jiwanya telah beruntung begitu juga dengan imannya karena Alquran telah menjamin memberikan ampunan yang penuh berkah kepadanya.

Begitulah Ammar, Allah telah memberikan hidayah dan nikmat kepadanya dengan takaran besar. Dalam hidayah dan keyakinan, ia telah mencapai tingkatan yang membuat Rasulullah membersihkan imannya dan menjadikannya sebagai contoh dan panutan di antara para sahabat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *