KPK Jangan Cuma Jadi Penonton Kasus Djoktjan-Pinangki

KPK Jangan Cuma Jadi Penonton Kasus Djoktjan-PinangkiKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta bersikap proaktif, dan tak hanya menjadi penonton dalam kasus dugaan suap penegak hukum oleh terpidana Djoko S Tjandra.[penci_related_posts title=”Baca Juga” number=”4″ style=”list” align=”none” displayby=”tag” orderby=”random”]

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan KPK sebaiknya tak hanya menjadi penonton, karena memiliki kewenangan yang diatur undang-undang untuk mengambil alih perkara dari institusi penegak hukum lain.

Menurutnya bilang beberapa alasan yang mengatur KPK mengambil alih perkara pun sudah terpenuhi dalam kasus dugaan suap Djoko Tjandra terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari.

“Kan mereka boleh ambil alih dengan persyaratan misalnya ada dugaan hambatan. Ini jelas-jelas ada dugaan hambatan di Kejaksaan Agung misalnya. Terus kompleksitas karena menyangkut banyak pihak. Jadi, ini diambil alih,” ujar Boyamin, (29/8).

“Jadi, ini diambil alih dan seharusnya momen ini. Tapi nampaknya momen ini tidak diambil KPK dan pada posisi tertentu malah jadi penonton,” lanjutnya.

Untuk diketahui, KPK memiliki kewenangan untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Hanya saja hal itu harus memenuhi alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 A UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Yakni laporan masyarakat mengenai Tipikor tidak ditindaklanjuti; proses penanganan Tipikor tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; penanganan Tipikor ditujukan untuk melindungi pelaku yang sesungguhnya; dan penanganan Tipikor mengandung unsur Tipikor.

Lalu, hambatan penanganan Tipikor karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; serta keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan Tipikor sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam kasus ini, Boyamin memandang seorang Pinangki yang merupakan mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung tidak memiliki kuasa mendekati Djoko Tjandra. Apalagi, tambah dia, tugas tersebut bukan kewenangan jabatannya. Oleh karena itu, Boyamin mensinyalir ada petinggi Korps Adhyaksa yang juga turut terlibat.

Berdasarkan hal tersebut, ia menilai KPK lebih cocok menangani kasus agar tidak menimbulkan kecurigaan publik lantaran ada dugaan konflik kepentingan.

“Setidaknya Pinangki pasti membawa serangkaian cerita bahwa dia bisa membantu karena faktor x, y, z, a, kembali lagi. Bahwa dia dekat dengan orang ini, pejabat itu, sehingga pak Djoko Tjandra kemudian percaya kepada Pinangki. Nah, faktor inilah yang harusnya didalami dan itu nampaknya sampai sekarang di Kejaksaan Agung belum dilakukan. Nah, ini harusnya KPK,” kata dia.

Boyamin mengungkapkan kekhawatiran ada konflik kepentingan diperkuat dengan sejumlah faktor dalam serangkaian penanganan kasus Pinangki. Termasuk soal tarik-ulur pengenaan sanksi terhadap Pinangki. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, ia berujar bahwa Pinangki sempat meminta dimutasi. Bukan pencopotan.

Akan tetapi, lanjut dia, sorotan publik yang begitu besar membuat Pinangki pada akhirnya dicopot dari jabatannya.

“Hal yang kecil saja ketika Pinangki proses awal itu kan antara dia akan diberi sanksi atau tidak oleh pengawasan. Itu saya tahu betul. Tadinya mau sekadar pindah; masih punya jabatan. Kemudian karena desakan semakin keras dan saya pun lapor Komjak maka kemudian baru dicopot dari jabatan. Sehingga tidak punya jabatan,” kata dia.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono membantah tudingan tersebut. Ia menegaskan pihaknya transparan dan profesional dalam menangani perkara sekali pun menjerat anggotanya.

“Tidak benar,” ucapnya melalui keterangan tertulis, Jum’at (28/8).

Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyayangkan sikap Ketua KPK Firli Bahuri yang seakan tidak memedulikan sengkarut penanganan kasus Jaksa Pinangki di Kejaksaan Agung. Padahal, mengutip UU, ia mengatakan KPK bisa mengambil alih perkara.

“Semestinya, selaku Ketua KPK, yang bersangkutan dapat peka terhadap problematika penanganan perkara korupsi di institusi lain,” katanya melalui pesan tertulis.

Sebelumnya Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango telah mengusulkan agar Kejagung berinisiatif menyerahkan penanganan kasus Pinangki ke lembaganya. Hal itu, menurut dia, bertujuan agar kepercayaan publik tetap terjaga.

“Saya tidak berbicara dengan konsep ‘pengambil-alihan’ perkara yang memang juga menjadi kewenangan KPK, tetapi lebih berharap pada inisiasi institusi tersebutlah yang mau ‘menyerahkan’ sendiri penanganan perkaranya,” ujar Nawawi.

Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan KPK mempunyai hak mengambil alih kasus dugaan suap Djoko Tjandra terhadap Jaksa Pinangki yang saat ini ditangan Kejaksaan Agung.

“Itu adalah haknya KPK. Kalau KPK mau ambil alih, enggak boleh jaksa agung menolak, enggak boleh Menkopolhukam menolak. Itu berdasar Pasal 8 dan Pasal 9 UU KPK… Saya tak akan mendorong dan tak akan menghalangi. Itu hak KPK sepenuhnya, KPK-nya mau enggak,” tutur Mahfud dalam acara Mata Najwa yang disiarkan secara langsung di Trans7 pada Rabu (26/8) malam.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Ali Mukartono mengaku penyidik di tempatnya saat ini masih mengumpulkan sejumlah bukti-bukti yang menguatkan tindak pidana korupsi dalam peristiwa tersebut. Pihaknya pun tak menutup kemungkinan untuk melibatkan KPK.

“Kami pertimbangkan (pelibatan KPK), sejauh mana. Karena ada kewenangan KPK, boleh juga,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Ali Mukartono kepada wartawan di Kompleks Kejaskaan Agung, Jakarta, Jumat (28/8).

Meski demikian, dia mengatakan bahwa sejauh ini pihaknya belum melakukan komunikasi dengan komisi antirasuah tersebut terkait penanganan perkara Pinangki.

Boyamin menambahkan lembaga antirasuah KPK kalah langkah dan kecolongan karena tidak bisa mendeteksi peristiwa suap menyuap yang melibatkan aparat penegak hukum.

“KPK dalam kasus Djoko Tjandra bukan sekadar kalah langkah. Tapi memang lagi tidur,” imbuhnya.

Menurut dia, kejadian tersebut tak bisa dipungkiri karena dua faktor yang terbukti melemahkan kinerja KPK yakni Revisi Undang-undang (RUU) KPK dan terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK.

“Dan memang kemudian kasus Djoko Tjandra membuka mata kita semua bahwa pelemahan KPK itu ada buktinya yaitu tidak mampu mendeteksi, mengawasi, menyadap upaya-upaya penyuapan dan pergerakan-pergerakan suap oknum-oknum di dua lembaga. Kepolisian maupun Kejaksaan Agung,” ujar Boyamin.

“Jadi, betul-betul sangat disayangkan dan menyesalkan kita semua karena sama sekali tidak bisa diendus apalagi di-OTT upaya penyuapan dalam kasus Djoko Tjandra,” tandasnya.

Pinangki dan Djoko Tjandra ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung atas kasus dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) terkait proses eksekusi. Pinangki diduga menerima sekitar Rp7 miliar dari Djoko Tjandra.

Teranyar, Korps Adhyaksa tengah mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Pinangki. Hal itu diketahui karena ada dugaan Pinangki menyamarkan uang untuk membeli mobil mewah BMW.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *