Polemik Siapa Tangani Kasus Djoko Tjandra-Jaksa Pinangki

Polemik Siapa Tangani Kasus Djoko Tjandra-Jaksa PinangkiPenanganan perkara suap Djoko Tjandra terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari oleh institusi Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menjadi polemik dan dipertanyakan sejumlah pihak belakangan ini.[penci_related_posts title=”Baca Juga” number=”4″ style=”list” align=”none” displayby=”tag” orderby=”random”]

Banyak yang menilai Kejaksaan akan sulit untuk menangani perkara yang dilakukan aparatnya sendiri, sehingga rentan terjadi konflik kepentingan. Selain itu, banyak juga kejanggalan-kejanggalan yang diungkapkan selama Pinangki menjadi tersangka.

Terkini, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mempertanyakan alasan terkait tidak pernah ditampilkannya Jaksa Pinangki kepada publik dengan mengenakan rompi tahanan selama ini.

“Perlakuan terhadap Pinangki itu sangat tidak adil. Jiwasraya dulu ditahan pakai rompi dari Gedung Bundar dibawa ke tahanan belakang. Nah, Pinangki belum pernah kan,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangannya, Jumat (28/8).

Menurutnya, bukan tidak mungkin kalau selama ini Pinangki ternyata belum menjalani pemeriksaan dan bahkan tidak berada dalam sel di rumah tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung.

Menurut MAKI, perlu transparansi kepada publik dalam melakukan penyidikan terhadap Pinangki tersebut. Salah satu caranya, kata dia, adalah dengan menampilkan Jaksa Pinangki kepada publik saat hendak menjalani pemeriksaan berikutnya.

“Bagaimana mungkin, orang luar aja Jiwasraya aja itu dipakaikan rompi, ditampilkan kepada wartawan, dimasukkan ke belakang, sementara kejaksaan, oknum jaksa sangat dilindungi,” kata Boyamin.

Terkait hal itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono menilai tidak ada alasan yang mendesak untuk menampilkan Pinangki ke publik.

“Kenapa [Pinangki] harus ditampilkan?” tanya Hari saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (28/8).

Dia mengatakan penangkapan dan penahanan Pinangki terjadi pada malam hari, sehingga tidak ada wartawan yang mendapati jaksa tersebut mengenakan Rompi tahanan dan digiring keluar dari ruang pemeriksaan yang berada di Gedung Bundar Jampidsus, Kompleks Kejagung.

“Hari itu ditangkap kira-kira jam 11 malam diperiksa, kemudian sudah masuk ke 12. Jadi ditahan tanggal 12 (Agustus),” kata Hari.

“Kalau dikirim dari Gedung Bundar ke ruang tahanan itu kan sudah di atas jam segitu pakai rompi tahanan kan enggak ada wartawan gimana? kan sudah malam,” tambahnya lagi.

Dia menerangkan Pinangki selama ini selalu menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar. Ia pun menegaskan pihaknya selalu terbuka apabila ada pihak yang ingin melihat keberadaan Pinangki setelah menjalani pemeriksaan.

Nantinya, kata Hari, dapat dibuktikan terkait pengenaan rompi tahanan terhadap tersangka kasus korupsi itu apakah benar-benar dilakukan atau tidak.

“Nanti perhatikan saja, kapan dia (Pinangki) diperiksa. Dari ruang tahanan ke ruang pemeriksaan pakai rompi atau enggak diperhatikan saja,” ujarnya lagi.

Bukan hanya dari segi keterbukaan terhadap publik, Komisi Kejaksaan sebenarnya juga mendorong agar penanganan kasus tersebut melibatkan penegak hukum independen yang berada di luar Korps Adhyaksa.

Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak menilai publik akan sulit mempercayai penanganan hukum terhadap Jaksa yang dilakukan sesama korps itu sendiri.

“Untuk membuktikan itu berjalan profesional tidak ada salahnya melibatkan penegak hukum independen, dalam hal ini yang dimaksudkan tentu KPK,” kata Barita.

Terkait hal itu, KPK sendiri mengaku pihaknya berharap agar Kejaksaan berinisiatif menyerahkan penanganan kasus dugaan suap dan gratifikasi Jaksa Pinangki ke pihaknya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango mengaku enggan bicara secara langsung terkait pengambilalihan penanganan kasus tersebut. Meskipun, dia meyakini bahwa penanganan kasus korupsi terhadap aparat penegak hukum (APH) sebaiknya dilakukan KPK.

“Saya tidak berbicara dengan konsep ‘pengambilalihan’ perkara yang memang juga menjadi kewenangan KPK, tetapi lebih berharap pada inisiasi institusi tersebutlah yang mau ‘menyerahkan’ sendiri penanganan perkaranya,” ujar Nawawi saat dihubungi, Kamis (27/8).

Nawawi menerangkan pengambilalihan penanganan kasus tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Dalam Pasal 10A disebutkan, ‘KPK berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan’.

“Dan yang seperti itu sangat baik dalam semangat sinergitas dan koordinasi dan yang pasti akan lebih menumbuhkan kepercayaan publik pada obyektifnya penanganan perkara-perkara dimaksud,” ucap Nawawi.

Di satu sisi, sejauh ini, Kejaksaan Agung enggan menyerahkan perkara itu ke KPK. Pihaknya menyinggung soal kewenangan yang dimiliki pihaknya untuk mengusut perkara korupsi yang melibatkan Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki itu.

Selain itu, Kejaksaan pun memiliki aparat penegak hukum yang tidak jauh berbeda dari KPK dalam penanganan perkara. Yakni, penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) dan penuntut umum.

“Penyidikan masing-masing punya kewenangan. Kami aparat penegak hukum saling support itu ada namanya kordinasi supervisi. Kami melakukan penyidikan penuntut umum juga di sini, tak ada dikatakan inisiatif serahkan, kita kembali ke aturan,” kata Hari kepada wartawan di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (27/8).

Saat itu, Hari pun menepis pemeriksaan yang dilakukan pihaknya akan sarat dengan konflik kepentingan. Dia menjanjikan Kejagung akan memproses kasus Jaksa Pinangki ini secara trasparan dan terbuka kepada publik.

Sebelumnya, dalam acara Mata Najwa yang disiarkan secara langsung di Trans7 pada Rabu (26/8) malam, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan hak KPK untuk mengambil alih kasus suap Djoko Tjandra terhadap Jaksa Pinangki.

“Itu adalah haknya KPK. Kalau KPK mau ambil alih, enggak boleh jaksa agung menolak, enggak boleh Menkopolhukam menolak. Itu berdasar pasal 8 dan pasal 9 UU KPK… Saya tak akan mendorong dan tak akan menghalangi. Itu hak KPK sepenuhnya, KPK-nya mau enggak,” tutur Mahfud.

Sementara itu Boyamin dalam kegiatan itu meminta Mahfud selaku Menko Polhukam untuk menginstruksikan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk melibatkan KPK dalam ekspose perkara Pinangki.

Menjawab itu, Mahfud pun mengatakan,”Saya juga minta kejaksaan agung, KPK kan minta diundang juga eksposenya, diundang saja kenapa. Kalau benar jangan takut.”

Dalam acara yang sama peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan pihaknya mendorong KPK masuk untuk mencegah dugaan oknum di internal maupun Kejagung melakukan upaya atau menghalangi penyidikan. Jika itu terbukti, kata Kurnia, bisa dijerat dengan pasal merintangi penyidikan (obstruction of justice)

“Kita agak sulit percaya kalau penegak hukum A menangani perkara yang melibatkan oknum penegak hukum A juga, lebih baik tarik netral biar KPK yang masuk,” kata dia.

Dalam kasus ini, Pinangki sendiri diduga menerima hadiah senilai Rp7 miliar untuk membantu proses pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) perkara dari terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. Dia kini disebut telah ditahan di Rutan Kejagung cabang Salemba sejak Rabu (12/8) lalu.

Djoko Tjandra pun telah ditetapkan sebagai tersangka kepada Pinangki pada Kamis (27/8) kemarin. Pengurusan fatwa MA itu diduga merupakan permintaan dari Djoko sehingga tidak perlu dieksekusi pada 2009 silam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed