Faisal Basri Minta Jokowi Tak Paksakan Diri Hindari Resesi

Faisal Basri Minta Jokowi Tak Paksakan Diri Hindari Resesi

Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan pemerintah sebaiknya tak memaksakan diri untuk menghindari ekonomi dalam negeri dari resesi pada kuartal III 2020 nanti. Sebab, ini bisa berbahaya bagi ekonomi dalam jangka panjang.

[penci_related_posts title=”Baca Juga” number=”4″ style=”list” align=”none” displayby=”tag” orderby=”random”]

Ia bilang pemerintah sebaiknya tetap fokus pada mengendalikan pandemi virus corona dibandingkan dengan memulihkan ekonomi. Sebab, dampaknya akan lebih buruk untuk seluruh sektor bila pemerintah mengutamakan ekonomi ketimbang kesehatan.

“Pemerintah sepatutnya tidak memaksakan diri agar terhindar dari resesi dengan mengutamakan agenda pemulihan ekonomi ketimbang pengendalian covid-19 (virus corona),” ujar Faisal, dikutip dari lama blog pribadinya, Rabu (5/8).

Ia mengatakan Kalau pemerintah memaksakan pemulihan ekonomi terlebih dahulu, bisa-bisa resesi ekonomi yang dihindari justru akan lebih lama dibandingkan kalau pemerintah fokus pada pengendalian virus corona. Semakin lama resesi, maka ongkos yang harus dikeluarkan pemerintah juga kian besar.

“Lebih realistis jika pemerintah berupaya maksimal mengendalikan virus corona agar perekonomian bisa tumbuh positif kembali pada kuartal terakhir tahun ini, sehingga 2021 bisa melaju lebih kencang,” jelas Faisal.

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Lembaga itu mengklaim ini merupakan kontraksi pertama sejak kuartal I 1999.

“Karena pertumbuhan pada kuartal I 2020 hanya 2,97 persen, maka pertumbuhan kumulatif sampai semester pertama tahun ini pun terkontraksi sebesar 1,26 persen,” ujar Faisal.

Ia mengungkapkan dua sektor yang paling terpukul akibat pandemi virus corona adalah transportasi dan pergudangan, serta akomodasi dan makan minum. Masing-masing sektor tercatat kontraksi 30,8 persen dan 22 persen.

“Namun, karena sumbangan kedua sektor ini bagi perekonomian relatif kecil hanya 5,85 persen, maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tidak dominan. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan kemerosotan turis mancanegara sangat memukul kedua sektor ini,” papar Faisal.

Sementara, sektor industri tercatat minus 6,19 persen, perdagangan minus 7,57 persen, konstruksi minus 5,39 persen, pertambangan minus 2,72 persen, administrasi pemerintahan minus 3,22 persen, jasa lainnya minus 12,6 persen, jasa perusahaan minus 12,09 persen, dan pengadaan listrik dan gas minus 5,46 persen.

Hanya ada beberapa sektor yang tampak berhasil bertahan di zona positif. Sejumlah sektor itu, seperti pertanian yang tumbuh 2,19 persen, jasa keuangan tumbuh 1,03 persen, jasa pendidikan tumbuh 1,21 persen, real estate tumbuh 2,3 persen, jasa kesehatan tumbuh 3,71 persen, dan pengadaan air tumbuh 4,56 persen.

Dari sisi pengeluaran, seluruh komponen terlihat minus pada kuartal II 2020. Detailnya, konsumsi rumah tangga minus 5,51 persen, investasi minus 8,61 persen, ekspor minus 11,66 persen, konsumsi pemerintah minus 6,9 persen, konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) minus 7,76 persen, dan impor minus 16,96 persen.

Sementara, Faisal memprediksi Indonesia akan masuk ke jurang resesi pada kuartal III 2020 karena panularan virus corona belum juga berakhir. Namun, ia melihat kontraksi ekonomi kuartal III 2020 tak sedalam kuartal II 2020.

“Dua kuartal berturut-turut (akan) mengalami kontraksi, sehingga Indonesia bakal memasuki resesi,” pungkas Faisal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *