RUU MLA Sah Jadi UU, Harta Koruptor di Swiss Bisa Dilacak

RUU MLA Sah Jadi UU, Harta Koruptor di Swiss Bisa Dilacak

Rancangan Undang-undang tentang Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (RUU MLA) antara Indonesia dengan Konfederasi Swiss disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (14/7).

[penci_related_posts title=”Baca Juga” number=”4″ style=”list” align=”none” displayby=”tag” orderby=”random”]

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU MLA Indonesia-Swiss, Ahmad Sahroni, mengatakan regulasi ini bertujuan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, hingga membawa harta haram yang disimpan sejumlah koruptor di Swiss.
Lihat juga: Mahfud Kantongi Inpres, Tim Pemburu Koruptor Segera Dibentuk

Dia mengatakan regulasi ini juga dapat digunakan dalam memberantas kejahatan perpajakan. Lewat beleid ini, sambungnya, bisa memastikan tidak ada warga negara atau badan hukum Indonesia yang melakukan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya.

“Perjanjian ini ditujukan juga untuk pemberantasan korupsi serta membawa hasil tindak pidana korupsi yang disimpan di luar negeri,” kata Sahroni dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (14/7).

Dia pun menerangkan regulasi ini mengatur tentang bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, membantu menghadirkan saksi, meminta dokumen, rekaman dan bukti, serta penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengembalian aset,

Sahroni melanjutkan, UU ini juga mengatur soal penyediaan informasi yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, mencari keberadaan seseorang atau asetnya, mencari lokasi dan data diri seseorang serta asetnya, termasuk memeriksa situs internet yang berkaitan dengan orang tersebut.

Menurut politikus Partai NasDem itu, regulasi ini menyederhanakan prosedur bantuan hukum timbal balik, khususnya dengan mengurangi persyaratan formal seperti keharusan autentikasi, dan persyaratan rinci untuk meminta bantuan timbal balik.

Bersifat Retroaktif

Sahroni juga menyatakan regulasi yang baru disahkan ini menganut prinsip retroaktif. Artinya, kata dia, pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara Indonesia dan Swiss dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

Namun, Wakil Ketua Komisi III DPR itu mengingatkan bahwa regulasi ini mengatur soal batas kerahasiaan data informasi, dokumen dan barang yang menjadi bagian dari pelaksanaan kerjasama timbal balik dalam masalah pidana.

Pengaturan ini merupakan salah satu materi penting yang diajukan Swiss sebagai syarat dalam kesepakatan perjanjian.

“Pemerintah perlu memperbaharui perkembangan terakhir dari praktik pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku di Indonesia yang mana kemungkinan besar Swiss bukan lagi menjadi tempat untuk menempatkan aset, rekening atau uang mengingat sudah beralih ke negara lain,” tuturnya.

Sahroni menyatakan regulasi ini sangat bagus karena Indonesia dan Swiss hendak membuat perjanjian timbal balik karena, terkendala oleh aturan kedua negara sehingga baru bisa terwujud hari ini. Dan kepentingan utama UU ini adalah untuk merepatriasi uang haram WNI yang tersimpan di Swiss.

Ia memperkirakan, ada hampir Rp10 ribu triliun pajak yang ditarik dari dana warga Indonesia di Swiss. Lewat UU ini, menurutnya, uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh negara bisa kembali ke Indonesia.

“Semoga dengan UU ini dasar kekuatan untuk mendapatkan informasi valid pajak dengan mudahnya mengakses data informasi dari orang Indonesia yang taruh uangnya di sana,” ucapnya.

Menkumham Yasonna Laoly mengatakan, kemajuan teknologi informasi membuat perpindahan dana atau aset dari suatu negara ke negara lainnya.

Selain berdampak positif, lanjutnya, hal ini juga memilik dampak negatif dengan timbulnya tindak pidana yang melewati batas yurisdiksi suatu negara atau tindak pidana transnasional.

Yasonna menyebutkan, penyelesaian kasus tindak pidana transnasional bukan hal mudah dan berbeda dengan penanganan kasus tindak pidana dalam teritorial negara.

Menurutnya, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional memerlukan kerjasama bilateral dan multirateral. Khususnya di bidang penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan.

“Menyadari hal tersebut, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Konfederasi Swiss sepakat mengadakan kerja sama bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana yang telah ditandatangani pada 8 Februari 2019 di Bern, Swiss,” kata Yasonna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *