KPK Sebut Defisit BPJS Bisa Diatasi Tanpa Naikkan Iuran, Ini Rekomendasinya

KPK Sebut Defisit BPJS Bisa Diatasi Tanpa Naikkan Iuran, Ini Rekomendasinya

KPK melakukan kajian mengenai persoalan dana BPJS Kesehatan. KPK menemukan adanya persoalan defisit dana yang diprediksi semakin besar.

“Kajian ini untuk membantu pemerintah menyukseskan namanya universal coverage. Seluruh masyarakat Indonesia harus terlindungi, yang salah satunya yang kesehatan dijalankan BPJS Kesehatan. Jadi selama ini isunya defisit dan diproyeksikan semakin besar,” kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat pemaparan kajian di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (13/3/2020).

Pahala menyebut, berdasarkan temuan KPK pada 2018, BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp 12,2 triliun. Menurutnya, defisit itu disebabkan oleh sejumlah peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) yang menggunakan layanan jaminan kesehatan nasional (JKN) menunggak iuran BPJS Kesehatan.

“Permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU). Sejumlah peserta menggunakan layanan JKN, kemudian menunggak iuran. Pada 2018, total defisit JKN mencapai Rp12,2 triliun. Jumlah tersebut disebabkan oleh tunggakan iuran peserta mandiri sebesar Rp 5,6 triliun atau sekitar 45 persen,” ujarnya.

Selain itu, Pahala mengatakan masih terjadi overpayment atau membayar lebih banyak dari yang semestinya. Sebab, menurutnya, masih ada kelas rumah sakit yang tidak sesuai plotting pada 2018.

“Empat dari enam rumah sakit mengklaim tidak sesuai dengan kelasnya. Akibatnya, terdapat overpayment sebesar Rp 33 miliar per tahun,” sebutnya.

Untuk itu, Pahala mengatakan KPK mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk mengatasi masalah defisit dana BPJS Kesehatan itu. Menurutnya, sejumlah opsi bisa dilakukan untuk mengatasi defisit itu tak hanya dengan menaikkan iuran dana BPJS Kesehatan.

“KPK melakukan kajian khusus, opsi-opsi apa yang bisa diambil untuk menutup defisit selain iuran. Waktu itu kita diskusikan, kita percaya masih ada opsi lain yang bisa diambil secara struktural bisa mengurangi defisit. Sebagai besar ini di tingkat kebijakan,” ujarnya.

Pahala mengatakan KPK meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mempercepat penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK). Pahala menyebut saat baru ada 32 PNPK dari target yang diminta KPK pada 2015 sebanyak 80 PNPK. Ia menilai ketiadaan PNPK itu mengakibatkan unnecessary treatment atau pengobatan yang tidak perlu.

“Kita lihat 80 dan baru selesai 32 PNPK sampai Juli 2019. Akibatnya, karena masih ada sekitar 48 yang belum, salah satunya 2018 sempat ribut itu soal katarak, bedah sesar, dan fisioterapi, itu murni karena nggak ada PNPK. BPJS merasa keberatan dengan klaim katarak yang waktu itu Rp 2 triliun. Semua dokter mata merasa nggak ada peraturan di kekaburan berapa katarak itu bisa dioperasi. Nggak ada batas kekaburan berapa. Katarak natural. Akibatnya, klaim massal untuk katarak, BPJS keberatan karena Rp 2 triliun ini signifikan. Jadi, dia keluarkan bahwa katarak itu tidak boleh kecuali sekian dan digugat ke MA, kalah. Karena memang BPJS bukan penentu kebijakan,” ucapnya.

Pahala juga minta Kemenkes membuat PNPK untuk penyakit katastropik atau penyakit gaya hidup, seperti jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Pahala menilai PNPK untuk mengatur opsi pembatasan manfaat bagi penyakit penyakit katastropik sehingga bisa menekan potensi unnecessary treatment.

“Total klaim penyakit katastropik adalah sebesar 30 persen dari total klaim pada 2018 sebesar Rp 94 triliun, yaitu Rp 28 triliun. Dengan diatur PNPK penyakit katastropik, potensi unnecessary treatment sebesar 5-10 persen atau sebesar Rp 2,8 triliun dapat dikurangi,” katanya.

Kemudian, menurut Pahala, Kemenkes diminta mengakselerasikan coordination of benefit (CoB) dengan asuransi kesehatan swasta. Ia menyebut, berdasarkan data Dewan Asuransi Indonesia, ada 1,7 persen penduduk Indonesia yang memiliki asuransi atau sekitar 4,5 juta orang.

Ia menilai, dengan mengakselerasi CoB itu, BPJS seharusnya bisa berbagi jika terdapat klaim dengan pihak asuransi swasta. Hal serupa sudah dilakukan oleh Jepang dan Korea Selatan.

“Dengan asumsi besaran CoB seperti yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan, yaitu 20-30 persen, dapat mengalihkan beban klaim peserta PPU (pekerja penerima upah) nonpemerintah dan PBPU sebesar Rp 600-900 miliar kepada asuransi swasta,” sebutnya.

Tak hanya itu, Pahala juga meminta Kemenkes menerapkan co-payment 10 persen sesuai Permenkes Nomor 51 Tahun 2018. Ia mengatakan penerapan co-payment 10 persen itu dinilai bisa menghemat total tagihan.

“Dengan co-payment 10 persen dari total tagihan peserta mandiri sebesar Rp 22 triliun pada 2018, akan terjadi penghematan sebesar Rp 2,2 triliun. Praktik co-payment di Jepang dan Korea Selatan sebesar 20-30 persen. Jika best practice ini diterapkan, potensi penghematan yang didapatkan senilai Rp 4-6 triliun,” imbuhnya.

Kemudian, Pahala mengatakan KPK juga meminta Kemenkes mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit agar tak mengalami overpayment. Sebab, Pahala menyebut, dari hasil review tahun 2018, Kemenkes menemukan 898 rumah sakit dari 7.000 rumah sakit tidak sesuai kelas.

“Jika dilakukan perbaikan penetapan kelas, terdapat estimasi penghematan beban jaminan BPJS Kesehatan sebesar Rp 6,6 triliun. Sehingga, total minimum penghematan pengeluaran klaim sebesar Rp 12,2 triliun,” tuturnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *