KKP Beberkan Beragam Modus Pencurian Ikan oleh Nelayan Asing

KKP Beberkan Beragam Modus Pencurian Ikan oleh Nelayan Asing

Ikan salah satu alternatif terbaik untuk memenuhi kebutuhan protein manusia dan menjaga ketahanan pangan dunia. Namun, ketersediaan stok ikan dunia saat ini tengah terancam. Pasalnya, peningkatan angka konsumsi ikan lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan populasi ikan di laut. Hal ini salah satunya disebabkan oleh penangkapan ikan secara berlebihan atau overfishing.

“Tren perikanan tangkap sempat meningkat namun cenderung statis saat ini. Hal ini disebabkan oleh penangkapan ikan secara berlebihan overfishing stock yang mencapai angka 33%,” ujar Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Sjarief Widjaja dalam keterangannya, Sabtu (22/2/2020)

Sjarief menerangkan terdapat berbagai modus yang digunakan untuk melakukan IUU Fishing. Pertama, penggunaan flag of convenience state. Modus ini menggunakan suatu bendera negara pada kapal tanpa adanya hubungan asli antara pemilik kapal dan pengoperasiannya kepada negara tersebut.

“Modus ini seringkali digunakan karena negara bendera flag state memberikan keuntungan untuk pemilik kapal seperti pengawasan yang rendah, pendaftaran yang sangat mudah, dan perpajakan yang kecil,” ungkapnya.

Kedua, modus yang sering digunakan oleh para pelaku IUU Fishing ialah flags of non-compliance di mana flag state tidak membuka registrasi namun memiliki reputasi yang kurang baik dalam pemberantasan illegal fishing.

Modus ketiga yang seringkali ditemukan ialah penggunaan ports of convenience. Melalui modus ini, para pemilik kapal memilih tempat pendaratan yang memiliki inspeksi yang sangat minim karena rendahnya kapasitas, sistem pencatatan yang tidak baik, maupun korupsi.

Keempat, modus kejahatan untuk melakukan IUU Fishing dilakukan dengan mematikan alat pendeteksi posisi kapal seperti Automatic Identification System (AIS) dan Vessel Monitoring System (VMS).

“Terdapat kewajiban bagi kapal berukuran 300 Gross Ton (GT) untuk mengaktifkan AIS. Namun yang seringkali terjadi pada praktiknya di laut, mereka secara sengaja mematikan AIS dan VMS tersebut agar keberadaan kegiatannya tidak dapat dimonitor,” jelas Sjarief.

Kelima, terdapat praktik kejahatan IUU Fishing di mana para pelaku menggunakan dokumen dan identitas yang dipalsukan serta melibatkan jaringan pemilik kapal yang kompleks. Kepemilikan kapal dibuat menjadi lintas negara sehingga pemilik kapal yang sebenarnya sulit untuk dideteksi.

“Kita pernah menemukan modus seperti ini di Indonesia. Kita menangkap kapal yang melakukan IUU Fishing namun tidak ada negara yang mengakui kepemilikan kapal tersebut,” imbuh Sjarief.

Sjarief menjelaskan bahwa praktik IUU Fishing memiliki beberapa faktor pendorong yaitu insentif ekonomi, lemahnya Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs), dan pemerintahan yang lemah. Untuk itu, ia menawarkan sejumlah solusi untuk mengatasinya.

“Kita bisa memberikan insentif ekonomi bagi para pelaku usaha yang patuh, meningkatkan penegakan hukum, dan memperkuat pemerintahan,” ucapnya.

Menurutnya, terdapat tiga konsep yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut. Pertama, pengadopsian transparansi global. Kedua, pengambilan perjanjian kesepakatan di setiap pelabuhan negara. Ketiga, melakukan peningkatan kerja sama regional antar-negara.

“Kita dapat mendorong negara-negara untuk menyampaikan data-data kapalnya. Dengan begitu, kita bisa mengetahui kapal-kapal yang berlayar di laut lepas milik siapa saja, berapa kapasitasnya, di mana dia melakukan operasi, dan di mana dia meletakkan hasilnya sehingga semua dapat terkendali,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *