Eka Santosa: Penguasa Harus Hargai Para Pendiri Kab. Pangandaran

Sedih, Premanisme itu …

Masih kata Eka Santosa yang dirasakannya geram sekaligus prihatin, hingga kini masih terdengar masih ada pola pemerintahan yang dikendalikan secara ‘invisible hand’. Dengan kata lain gejala ini .premanisme. Dampaknya, kerusakan lingkungan berupa pembabatan hutan lindung, dan keengganan para investor menggeliatkan ekonomi Pangandaran, di usia 7 tahun ke depan:[penci_related_posts title=”You Might Be Interested In” number=”4″ style=”list” align=”none” displayby=”cat” orderby=”random”]

“Seharusnya hal-hal yang saya sebut ririwa di Pangandaran, janganlah ada. Kepada para pemimpin setempat, segeralah introspeksi diri,” ujarnya yang enggan menyebutkan secara detil – “Tak usah rinci saya ungkapkan disini. Faktanya, masyarakat sudah pada tahu soal kebobrokan ini, dan ini salah urus harus dibenahi.”

Kembali menyoal sejarah rintisan DOB Pangandaran, tatkala upaya pergerakan bernama PMP dan AK agak meredup, muncullah PPKP yang kemunculannya cukup fenomenal:

“Pergerakannya lebih terarah dan terencana, juga punya dukungan luas masyarakat, serta ada dukungan dari unsur partai politik. Presidium ini pun memperoleh mandat penuh dari Badan Perwakilan Desa (BPD) se wilayah calon Kab. Pangandaran sebanyak 92 desa.

Secara historis, terbentuknya Presidium (PPKP), berawal dari diskusi dirinya dengan H. Supratman, B.Sc. di Langkaplancar (Selasa, 18 Mei 2004). Bahasan perbincangan kala itu betapa jomplang alias perimbangan APBD Kab. Ciamis dirasakan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Penyebabnya, sektor belanja pegawai dalam APBD Kab. Ciamis 70%, sedangkan sektor belanja publik hanya 30%. Tersebab proporsi belanja publik yang minim ini, implementasi pembangunan di Kab. Ciamis termasuk di wilayah Ciamis Selatan menjadi tertinggal. Diskusi kala itu, semua mengarah perlunya pemekaran wilayah Ciamis Selatan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *