Gerindra: Amandemen UUD 1945 Tak Recoki Urusan Jabatan Presiden

Gerindra: Amandemen UUD 1945 Tak Recoki Urusan Jabatan PresidenWacana melakukan amandemen UUD 1945 muncul. Fraksi Partai Gerindra MPR memastikan, jika jadi dilakukan, amandemen UUD 1945 tak akan merecoki hal-hal yang terkait jabatan presiden.

“Ndak, ndak, kita sudah sepakat bahwa MPR itu tidak mengembalikan bahwa pilihan presiden kembali (dipilih) ke MPR, tidak,” kata Ketua F-Gerindra MPR Ahmad Riza Patria di d’Consulate Resto&Lounge, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (12/10/2019).

Masa jabatan presiden juga tak akan diubah. Riza menegaskan selama ini belum ada pembahasan tentang wacana melakukan amandemen UUD 1945 selain yang terkait dengan haluan negara.

“Iya, kita tidak akan mengembalikan umpamanya nanti presiden kembali (menjabat) seumur hidup, kan tidak begitu atau tiga periode, tidak begitu. Atau periodisasi DPR jadi enam tahun, kan tidak begitu. Atau (masa jabatan) presiden jadi delapan tahun, tidak begitu,” tegasnya.

Menurut Riza, amandemen UUD 1945 akan memberi ruang adanya haluan negara. Riza menyebut haluan negara penting untuk memberi arah pada kebijakan pemerintah, siapa pun presidennya.

“Yang baik itu ya kebijakan Indonesia itu adalah kebijakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bukan kebijakan presiden terpilih saja, tapi juga kebijakan yang bisa mengakomodasi visi-misi program dari pasangan calon lain atau capres-cawapres lain, dari tokoh-tokoh yang lain, dari partai-partai yang ada, dari ormas, dari akademisi, dari para pakar, para ahli,” ujar Riza.

“Jadi semualah komponen bangsa harus bersatu menyampaikan kebijakan yang baik bagi kepentingan bangsa dan negara. Dan itu harus dituangkan di GBHN,” ucapnya.

Sebelumnya, wacana amandemen UUD 1945 terkait GBHN menimbulkan kekhawatiran akan melebar. Kekhawatiran sekelompok masyarakat itu disampaikan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani.

Dia mengatakan ada kelompok masyarakat yang khawatir pembahasan amandemen menjalar ke pasal-pasal lain, seperti pemilihan presiden hingga masa jabatan kepala negara.

“Sebagai sebuah kemungkinan atau kekhawatiran bahwa itu bisa melebar ke kanan-ke kiri saya kira bisa, karena istilahnya begitu GBHN diamandemen menjadi sebuah ketetapan MPR dan masuk dalam UUD, maka kemudian ada sisi lain yang harus dipertimbangkan,” kata Muzani, Senin (7/10).

“Misalnya GBHN itu berdiri sendiri atau bagaimana, ukurannya bagaimana bahwa presiden telah melaksanakan GBHN, maka kemudian berpikir mandataris MPR lagi karena GBHN yang membuat MPR, presiden harus melaksanakan GBHN berarti presiden menjadi mandataris MPR. Kalau sudah mandataris MPR berarti presiden dipilih oleh MPR. Sebagai kemungkinan, itu mungkin terjadi, mungkin,” sebut Muzani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed