Tradisi ‘Kejar Setoran’ Susun Undang-Undang

Tradisi 'Kejar Setoran' Susun Undang-UndangRancangan Undang-undang tentang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) atau RUU Kamtansiber hampir saja disahkan Senin (30/9/2019) dalam rapat paripurna terakhir Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019. Namun koalisi masyarakat sipil dengan keras menentang substansi RUU tersebut. Agenda itu akhirnya batal karena pemerintah tak mengirimkan perwakilannya dalam rapat kerja dengan Panitia Khusus (Pansus) RUU KKS yang sedianya digelar Jumat (27/9/2019).

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menyebut jika sampai jadi disahkan, RUU KKS tersebut jadi produk legislasi yang paling cepat dibahas DPR. “Pembahasannya hanya lima hari, super kilat,” ujar Wahyudi yang aktif mengawal RUU tersebut pada detikcom, Selasa (1/10/2019).

Menurut Wahyudi, RUU tersebut baru muncul pada awal 2019. Namun saat itu, belum ada naskah akademik sebagai salah satu syarat untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Proses penyusunan naskah akademik dan RUU sendiri baru dilakukan Pusat Perancangan Undang-undang Badan Keahlian DPR beberapa bulan kemudian. “Baru diumumkan sebagai Prolegnas usulan DPR pada rapat paripurna bulan Juli 2019,” katanya.

Sementara pemerintah sendiri baru mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada bulan September 2019. “Ini kan sebulan sebelum masa kerja DPR periode 2014-2019 berakhir,” ujar Wahyudi. Dalam agenda sidang yang dikeluarkan DPR, proses pemilihan dan penetapan Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang KKS baru digelar pada Selasa, 17 September 2019. Sementara penyusunan dan pengesahan mekanisme kerja pembahasannya baru dibahas tiga hari kemudian.

Waktu sisa masa kerja yang semakin pendek membuat Pansus RUU KKS yang diketuai Bambang Wuryanto mempercepat pembahasan. Rapat Dengar Pendapat Umum sebagai salah satu syarat penyusunan UU tak pernah dilakukan.

“Ini jadi problem karena stakeholder RUU tersebut tidak pernah diajak konsultasi. Karena jangka waktu pembahasannya sangat pendek. Ini membuat pembahasannya tidak memenuhi syarat formil,” ujar Wahyudi.

Wahyudi menyayangkan DPR terus memaksakan pembahasan RUU pada saat masa kerjanya sisa sepekan. “DPR sudah menyampingkan prosedur yang benar dalam melakukan penyusunan, ini menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi secara substansi RUU tersebut mengancam kebebasan individu di ranah siber,” katanya.

Proses kilat juga terjadi dalam pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Wahyudi pembahasannya hanya dalam tempo sekitar dua pekan. Hanya bedanya UU KPK sudah disahkan DPR dalam rapat paripurna Selasa, 17 September 2019. Begitu juga dengan UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara. “PSDN juga relatif pendek pembahasannya,” kata Wahyudi.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menjelaskan, pengesahan berbagai RUU menjelang akhir masa sidang seolah sudah menjadi tradisi. Pada ada periode 2009-2014, hal yang sama juga terjadi. Menurut data Formappi periode 2009-2014 ada 69 RUU Prolegnas yang disahkan. Sebanyak 17 RUU diantaranya dibahas di tahun terakhir. “Akhirnya mengesahkan secara terburu-buru UU Pilkada dan UU tentang Pemda,” katanya.

UU Pilkada dan UU Pemda itu sendiri mendapat protes keras dari publik. Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan dan kembali pada UU yang lama. Namun, menurut Lucius kinerja periode 2014-2019 lebih buruk, baik dari sisi kualitas dan kuantitas UU yang dihasilkan. Hingga rapat paripurna terakhir baru ada 38 RUU Prolegnas Prioritas yang disahkan. Beberapa diantaranya disahkan pada minggu-minggu terakhir September 2019.

“Mereka ngebut di hari-hari terakhir,” ujar Lucius.

Hal ini membuat RUU yang disahkan dalam waktu singkat ini tak berkualitas. Pola berulang yang yang terjadi di tiap periode itu menurut Lucius berpotensi melanggengkan transaksi dan kompromi politik. “Ada kepentingan parpol untuk bisa mengamankan kepentingan para elite melalui proses pembahasan legislasi,” kata Lucius.

Anggota Badan Legislatif DPR periode 2014-2019 Hendrawan Supratikno mengatakan penumpukan pembahasan rancangan undang-undang pada akhir masa jabatan merupakan hal yang wajar. Ia menyebut hal itu pasti akan terjadi dalam setiap periode.

“Akhir masa jabatan merupakan muara dan kulminasi dari berbagai proses yang terjadi, termasuk dalam legislasi,” ujar Hendrawan pada detikcom. “Pansus dan Panja juga mengintensifkan pertemuan-pertemuan setelah tahu bahwa masa kerja dewan tidak bisa diperpanjang lagi.”

Namun, politisi PDI Perjuangan ini menyebut, DPR tak mengenal istilah “target setoran” dalam menyelesaikan sebuah RUU menjadi UU. “Lebih tepat disebut target capaian. Bagaimanapun penyelesaian RUU termasuk salah satu parameter penting untuk mendorong kinerja yang lebih baik,” kata doktor ekonomi lulusan Vrije Universiteit Amsterdam yang juga anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu.

Soal pembahasan sejumlah RUU yang disebut terburu-buru, Hendrawan membantahnya. Menurutnya meski terbilang cepat, pembahasan tersebut sama sekali tidak mengorbankan kecermatan.

“Yang penting kualitas UU tetap harus diutamakan. Dalam UU parameternya jelas yakni mengutamakan keadilan, kemanfaatan dan memperkuat kepastian hukum,” kata Hendrawan yang kembali terpilih sebagai anggota DPR periode 2019-2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *