Bamsoet Usul Pemilihan Presiden Dikembalikan ke MPR

Bamsoet Usul Pemilihan Presiden Dikembalikan ke MPRPesta demokrasi pada Pemilu 2019 memiliki banyak permasalahan hingga terjadinya perpecahan di masyarakat. Hal itu memunculkan dorongan supaya Presiden kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dorongan itu juga diperkuat setelah Pemilu serentak 2019. Dimana sebanyak 72 persen dari 1.239 responden survei Cyrus Network menyatakan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) dipisah. Karena menimbulkan banyaknya permasalahan yang terjadi.

Dorongan itu juga diseujui oleh Ketua DPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet. Menurutnya Pilpres harus dikembalikan lagi ke MPR karena mengakibatkan perpecahan antara masyarakat serta mengeluarkan biaya yang banyak.

“Apa enggak sebaiknya Pilpres dikembalikan lagi ke MPR. Ini pertanyaan publik. Kalau begini keruwetannya dan mahalnya begini kenapa gak dikembalikan ke MPR saja,” ucap Bamsoet di acara pemaparan hasil survei Cyrus Network di Hotel Ashley di Jalan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/8).

“Saya pribadi sudah hitung secara kalkulasi politik, lebih banyak mudharatnya bagi bangsa ini jika Pileg dan Pilpres diserentakkan. Kita enggak usah sok-sokan berdemokrasi pakai budaya barat karena kita punya budaya sendiri. Tujuan pendiri bangsa itu kita enggak terpecah. Kalau perlu pemilihan Bupati atau Walikota dikembalikan ke DPRD,” tambahnya.

Dengan demikian, Bamsoet menyarankan lembaga survei Cyrus Network untuk melakukan survei terkait keinginan masyarakat untuk mengembalikan Pemilihan Presiden ke MPR.

“Ini kan keinginan sebagian orang tapi apa enggak sebaiknya Cyrus uji ke publik. Kalau memang mau kembalikan ke MPR ya Undang-Undang Dasar harus kita amandemen,” jelasnya.

Jika sudah dilakukan survei, Bamsoet mengaku anggota yang ada di DPR dan MPR juga akan memetakan suara masyarakat atas keinginannya untuk mengembalikan Pemilihan Presiden ke MPR.

“Bagi kami di DPR dan MPR suara publik terbanyak yang kita dahulukan. Kita petakan suara publik demografi, bisa kita lihat bagaimana sebenarnya keinginan masyarakat kita,” paparnya.
Pemetaan itu harus dilakukan karena angka dari lembaga survei juga bukanlah mewakili keinginan seluruh rakyat Indonesia.

“Sistem demokrasi sekarang ini kita hanya main angka-angka saja. Belum tentu suara aspirasi rakyat terwakili dengan angka-angka itu. Maka kita harus petakan lagi,” tandasnya.
Ia pribadi menyarankan Jokowi memilih Jaksa Agung baru dari kalangan jaksa karir untuk mencegah terjadinya konflik internal di Korps Adhyaksa.

“Akan lebih baik kalau Pak Jokowi mendorong jaksa karir,” sarannya.

Kabar bahwa hubungan Mega dan Surya Paloh memburuk mulai ramai sejak pertemuan para Ketum Parpol Koalisi Indonesia Kerja di DPP Nasdem, Gondangdia, Jakpus yang tidak melibatkan Megawati (Senin, 22 /7).

Dua hari kemudian, terjadi “reuni” Megawati dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, di Teuku Umar, Jakpus (Rabu, 24/7). Pada jam yang sama, Paloh mengundang Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, untuk makan siang di DPP Nasdem.

Dari kedua peristiwa politik itu, muncullah istilah Poros Gondangdia dan Poros Teuku Umar.
Editor: Aldi Gultom

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed