6 Indikator Buruk Dalam Indeks Demokrasi Indonesia

6 Indikator Buruk Dalam Indeks Demokrasi IndonesiaSebanyak enam indikator demokrasi di Indonesia masih dalam kategori buruk. Hal itu sebagaimana hasil rilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2018 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS).

BPS mengukur IDI dalam tiga aspek, yakni kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Ketiga aspek itu kemudian diurai menjadi 11 variabel dan 28 indikator penilaian.

“Ada enam indikator yang perlu kerja keras untuk memperbaikinya, karena enam indikator ini dikategorikan buruk. Artinya nilainya masih di bawah 60,” ungkap Kepala BPS Suhariyanto di Gedung 3 BPS, Jalan Dr. Sutomo, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Senin (29/7).

Adapun keenam indikator itu antara lain, ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan pendapat berpendapat. Nilainya, 45,96.

“Jadi friksi di sana berulang-ulang kasus hoax dan sebagainya membuat kegaduhan dan menimbulkan banyak masalah. Ini PR pertama yang harus kita lakukan,” tuturnya.

Sementara indikator selanjutnya adalah persentase perempuan terhadap total anggota DPRD provinsi yang masih minim. Indeksnya, 59,61 persen.

“Jadi keterwakilan perempuan menunjukkan peningkatan, tetapi belum sesuai dengan apa yang kita inginkan. Jadi kita masih perlu meningkatkan peran serta perempuan di dalam DPRD provinsi,” lanjutnya.

Demonstrasi atau mogok yang bersifat kekerasan juga masuk penilaian buruk. Angkanya bahkan mencapai 30,37.

“Hal ini perlu menjadi perhatian. Demo tentu saja boleh dilakukan, tapi dengan cara-cara yang sudah digariskan,” jelasnya.

Indikator keempat adalah inisiatif DPRD yang dinilai kurang terkait peraturan daerah (perda). Angkanya, sebesar 40,35.

Sedang indikator selanjutnya adalah rekomendasi DPRD kepada eksekutif dalam mengajukan perda yang masih minim.

“Angkanya, terkecil sebesar 20,80,” terang Suhariyanto.

Terakhir adalah upaya penyediaan informasi Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah (APBD) oleh pemerintah daerah. Indeksnya, 41,42.

Dalam hal ini, Suhariyanto mengingatkan bahwa transparansi merupakan langkah untuk meningkatkan angka tersebut.

“Upaya penyediaan informasi APBD yang lebih transparan, karena transparansi menjadi salah satu kunci penting untuk kehidupan demokrasi,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *