Mantan Hakim MK Buka Suara Atas Kasus Yahdi Basma

Mantan Hakim MK Buka Suara Atas Kasus Yahdi BasmaSetiap anggota DPR maupun DPRD memiliki hal imunitas dalam melakukan pengawasan atas kinerja eksekutif.

Begitu juga dengan anggota DPRD Sulawesi Tengah Yahdi Basma yang dilaporkan Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola ke Polda Sulteng.

Politisi Partai Nasdem tersebut dilaporkan atas sebaran berita hoax pada salah satu media koran lokal yang diedit dengan judul “Longki Djanggola biaya people power” di Sulteng.

Yahdi kini berstatus sebagai tersangka dan akan menjalani pemeriksaan perdana pada Selasa (30/7).

Seiring dengan kasus ini, masalah hak imunitas anggota dewan kembali muncul. Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan turut buka suara menjelaskan bahwa hak imunitas telah diatur dalam UU MD3.

Pasal 338 UU MD3 menyebut bahwa anggota DPRD tidak dapat dituntut karena pernyataan, pernyataan dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi maupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.

“Pengertian pernyataan, pertanyaan dan/pendapat lisan atau tertulis dalam rapat atau diluar rapat serta apakah ruang lingkup dari fungsi, wewenang dan tugas DPRD dapat dikatakan mencakup mem-forward satu pernyataan orang di WA untuk melakukan verifikasi atau sumber informasi,” terangnya di akun Facebook pribadi, Sabtu (27/7).

Dalam kasus Yahdi, Maruarar melihat bahwa sumber utama masalah ada isi koran yang memuat berita awal. Sebab, peran Yahdi sebatas menyadur berita dari harian yang telah terbit kemudian dipertanyakan dengan forward ke WA group.

Berita harian yang menjadi sumber informasi yang terbuka secara publik, harus mendapat penjelasan dan keputusan terlebih dahulu, apakah merupakan tindak pidana atau bukan, baru kemudian sebagai derivasi, jikalau berita diunggah melalui ITE dapat dipermasalahkan.

“Harus dinyatakan dahulu dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum, bahwa berita tersebut adalah fitnah atau tidak benar,” terangnya.

Sementara Yahdi yang meneruskan informasik ke WA untuk mencari kebenaran merupakan hal yang wajar. Ini lantaran anggota DPRD memiliki tugas, fungsi, dan wewenang menggunakan saluran yang tersedia untuk memperoleh data/informasi dalam kerangka melaksanakan tugasnya sebagai anggota DPRD .

Dengan fungsi pengawasan yang boleh bermuara pada hak angket, interpelasi dan hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah, yang didasarkan kepada demokrasi, dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili demi kepentingan bangsa dan NKRI

“Tindak pidana yang disangkakan dilakukan dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE harus mengacu kepada tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP dengan segala unsur-unsurnya,” terang Maruarar.

Jika perbuatan yang bersangkutan mengandung muatan penghinaan dan pencemaran nama baik mengacu kepada KUHP, maka sesuai dengan kewajiban, tugas dan fungsi DPRD dalam pengawasan yang memerlukan informasi dan data, maka pasal 310 ayat (3) menyebut bahwa perbuatan demikian tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika dilakukan demi kepentingan umum.

Sebab, informasi yang ditransmisi dengan maksud untuk verifikasi yang dilakukan oleh seorang anggota DPRD adalah masuk dalam ranah kepentingan umum, dilihat dari tugas dan fungsi pengawasan anggota DPRD, dengan perbuatan yang dilakukan di dalam maupun diluar rapat DPRD;

“Terlepas dari mekanisme dan prosedur tentang penyidikan dan pemeriksaan terhadap seorang anggota DPRD yang harus mengacu pada UU MD3 dan pertimbangan MK yang memuat semangat implementasi penyidikan anggota DPR/DPRD,” terangnya.

“Pasal 27 UU ITE tidak dapat diterapkan terhadap transmisi yang dilakukan anggota DPRD, karena hal itu masuk dalam ruang lingkup kepentingan umum yang dipertahankan oleh anggota DPRD dalam tugas dan wewenangnya,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *