Sidang MK Mundur, Pengamat: Seharusnya KPU Punya Rencana B

Sidang MK Mundur, Pengamat: Seharusnya KPU Punya Rencana BSidang kedua perselisihan hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi sejatinya akan dilakukan pada Senin (17/6) esok. Namun hal itu mundur satu hari lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) kesulitan menghadirkan saksi dan perangkat KPU dari luar kota dengan alasan sulit mendapatkan tiket ke Jakarta.

Melihat dinamika ini, Pengamat Politik dari Exposit Startegic Political, Arif Susanto menganggap keputusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tepat.

“Saya kira cukup logis untuk mengambil jalan tengah hari Selasa. Problem awalnya, Mahkamah Konstitusi memberikan ruang bagi tim pengacara BPN untuk merekonstruksi petitum mereka yang melebar. Konsekuensi yang melebar itu kemudian membuat KPU dan pihak terkait harus memberikan jawaban yang sesuai apa yang diberi pertanyaan belakangan,” ucap Arif Susanto kepada Kantor Berita RMOL, Minggu (16/6).

Pengajuan pengunduran waktu sidang lanjutan yang diajukan KPU dinilai logis karena KPU juga harus mempersiapkan bukti-bukti terhadap revisi gugatan dari Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi.

“Secara umum dugaan saya mereka siap, tapi untuk menjawab konstruksi yang baru, saya kira cukup logis kalau mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk perbaikan,” katanya.

Namun, kata Arif, semua pihak yang bersengketa seharusnya mempunyai rencana yang lain ketika menghadapi suatu persengketaan di MK.

“Kalau kesaksian itu bukan sesuatu yang luar biasa prinsipil, saya kira kan KPU maupun MK dan semua yang berperkara itu harus siap dengan rencana B. Kecuali kalau memang itu sesuatu yang prinsipil yang tidak bisa digeser, ditunda, dicari penggantinya, itu lain perkara. Tapi kalau itu bukan sesuatu yang prinsipil ya saya kira harus ditemukan alternatif,” jelasnya.

Menurut Arif, perkara di MK memiliki nuansa yang politis sehingga wajar jika publik menganggap KPU tidak profesional karena meminta memundurkan waktu persidangan lanjutan.

“Sebenarnya problematik ya karena dalam perkara hukum semacam ini nuansa politisnya kuat. Kesalahan sedikit sudah cukup bagi lawan untuk melakukan politisasi,” paparnya.

“Saya berharap semua pihak berhenti untuk perang opini. Mahkamah Konstitusi memang harus menutup mata dan telinga dari argumentasi-argumentasi di luar persidangan,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *