Candra Malik: Bersama, Merawat & Mencintai Ibu Pertiwi

Candra Malik: Bersama, Merawat & Mencintai Ibu PertiwiCandra Malik usai hadir di pengajian Maulid Nabi Muhamamad SAW di pelataran Masjid Al Huda, Pesantren Nurul Hidayah Siwarni, Bongangin, Sumpiuh, Banyumas (Jateng, 20/11/2018), malamnya langsung melesat ke Warunk Hawu. Ini sebuah cafe ‘tradisional kontemporer’ di Kawasan Eko Wisata dan Budaya Alam Santosa. Tepatnya di Pasir Impun, Cimenyan Kabupaten Bandung (Jabar). Lokasi ini kondang sebagai kediaman tokoh Jabar Eka Santosa.

Di Alam Santosa pada Rabu malam (21/11/2018) digelar obrolan santai bersama Candra Malik yang dikenal sebagai figur multi talenta selaku sufi, sastrawan, wartawan, pelantun lagu rohani, artis film, dan penulis sejumlah kolom di berbagai media tanah air. Audiens-nya, aktivis dari ragam komunitas lintas sosial, seni, budaya, dan agama di Bandung, pun dari luar kota Bandung.

“Cukup mengejutkan pengunjung obrolan bertajuk Merawat Cinta Merawat Indonesia, walau persiapannya terbatas, dihadiri banyak pengunjung,” jelas Bendra Angrenaswara, koordinator kegiatan ini.

Pantauan redaksi obrolan yang berlangsung amat bersahaja di Alam Santosa di kaki Gunung Manglayang, berlangsung dalam suasana akrab. Lingkup bahasannya amatlah luas dan mendalam. Gaya pemaparan Candra Malik yang kerap disapa Gus Candra, amatlah bersahaja, sehingga relatif mudah dipahami ‘kesufiannya’.

“Yang merawat dan mencintai Indonesia itu banyak sekali, bukan kalangan tertentu saja. Hakikatnya bangsa ini, katanya sedang ‘panas-dingin’ diterpa angin serba politik menjelang Pemilu 2019. Padahal, sungguhlah bangsa ini amatlah lembut dan tulus, serta terbuka. Aneh, kalau banyak pihak yang mengklaim dirinya merasa paling benar, lalu menuding yang lain serta menganggap itu tak sejalan dengannya, klaimnya mereka itu salah. Duh, jangan beginilah kita berbangsa dan bernegara. Kembalilah ke khittah, menjadi bangsa yang cinta tanah air, pada Ibu Pertiwi. Bersama-samalah merawat dan mencintainya. Beres, kan?” tuturnya dengan gaya khas seakan menghipnotis audiens.

“Setuju banget Gus…” serempak audiens menanggapi sepenggal ujaran inspiratif pada malam yang cukup dingin di kawasan konservasi hutan Alam Santosa.

Tiba pada sesi tanya-jawab, usai Candra Malik selama sekitar 45 menit berceramah, malam itu mengupas tuntas asal muasal kita secara sufistik dan filosofis, mempertanyakan tujuan hidup, termasuk bagaimana idealnya berbangsa dan bernegara. Ia menjawab satu persatu petanyaan audiens bersama rekannya Kang Lutfi dari Bandung dengan penuh kesabaran. Hasilnya, audiens rata-rata terpuaskan.

“Suasana, seperti inilah guyub ala bangsa Indonesia, ini dikagumi bangsa asing, terutama di Barat sana. Ketika saya di Australia, fenomena ini menjadikan mereka bingung. Koq bisa ya, masih ada riungan seperti kita sekarang?” ujarnya sambil memberikan ilustrasi betapa bangsa Indonesia sejatinya – “Bangsa yang lembut, cinta damai, dan punya kepribadian teguh. Utamanya, rasa cinta mendalam ke kampung halamannya, termasuk rasa hormat kepada orang tua dan sesama.”

Salah satu audiens, Deden (35) warga di sekitar Pasir Impun, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, ia sengaja hadir bersama dua kawannya. Harapannya, kegiatan ‘pencerahan’ yang digelar di Warunk Hawu, dilakukan rutin.

“Lain kali Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), maupun Sujiwo Tejo, kenapa tidak bergiliran hadir di sini?” saran Deden yang diamini rekannya.

Secara terpisah, tuan rumah Eka Santosa yang kebetulan Rabu malam itu, masih berada di Singaparna, Tasikmalaya melalui telepon mengapresiasi kehadiran Candra Malik:

”Sayang saya dan Kang Ozenk (Deni Tudirahayu) belum berkesempatan menjamunya. Lain kali mudah-mudahan kita bisa berdiskusi tentang banyak hal. Pencerahan seperti inilah yang kita butuhkan.” (HS/MG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *