DR. MEH: Saya Tak Temukan Data, Fakta & Bukti Hukum Indonesialeaks

DR. MEH: Saya Tak Temukan Data, Fakta & Bukti Hukum IndonesialeaksJurnalis punya tugas dan peran sejarah untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat minimal ketika membuat konten berita nara sumbernya jelas siapa dan menggunakan nara sumber anonim dengan bukti yang lemah seperti laporan Indonesialeaks.

“Naluri saya sebagai peneliti, selama seminggu lebih ketika kasus Indonesialeaks ini ramai di media mencoba untuk secara detail memahami kontruksi kasus ini namun ketika saya cek di situs Indonesialeaks saya sama sekali tidak menemukan hasil investigasi secara konfrehensif di di dukung oleh bukti hukum yang kuat untuk mendukung fakta yang terjadi sebenarnya” ujar peneliti senior dari Network for South East Asian Studies ( NSEAS) DR. Muchtar Effendi Harahap (MEH) dalam diskusi media yang di gelar Forum Nasional Jurnalis Indonesia (FNJI) dengan tema Political Power Mapping menuju 2019 di Jakarta, Rabu (22/10/2018)

Menurut MEH, Indonesialeaks dalam penilitiannya tak sama sekali mempublikasi bukti-bukti tuduhannya di dalam situsnya sehingga bukti secara hukumnya sangat lemah. Di situs iti tak ada dokumen asli cuman ribut di media dengan wacana atau opini saja dari mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjajanto

“Malu kita kalau hal seperti ini di perdebatkan berminggu-minggu di media tapi barangnya tidak ada, hasil repotasi tak di publikasi secara terbuka, fakta-fakta tak ada. Ini pasti ada kesalahan dan bisa jadi fitnah kalau tidak bisa di kendalikan oleh pemerintah” tegas MEH.

Sementara pembicara lainnya Ali Sodikin, MSi praktisi media dan dosen perguruan tinggi di salah satu kampus swasta di Jakarta mengatakan, dalam kasus Indonesialeaks masih menggunakan nara sumber anonim tidak seperti kasus wikileaks di luar negeri itu yang membuka secara terang-benderang.

“Memang dalam undang-undang pers ada nara sumber yang di lindungi, namun dalam konteks ketika ada masalah yang di kena delik adalah nara sumbernya bukan medianya kalau mau fair, kritik saya pada teman-teman adalah sering kali tak bisa melepas diri dari fenomena modal dan keharusan bertahan hidup sehingga menjadi lebih partisan pada pemodal dengan menggunakan framing media. Kedepan media harus lebih independen, obyektif, edukatif, menyejukan di tengah kepungan modal dan pertarungan politik yang keras di tahun politik ini”, tegas Ali.

Selain itu, analis media Toha Almansur dalam pemaparannya di depan peserta dari berbagai media ini menegaskan, pertarungan keras antara Jokowi dan Prabowo jilid 2 ini memang sangat tajam di lini media baik mainstream maupun di media sosial tapi pada realitas di lapangannya tak ada pertarungan itu di tingkat bawah

“Jadi meski tensi tinggi di media, rakyat di tingkat bawah adem-adem saja tak banyak menimbulkan gesekan. Dalam kasus pembakaran bendera tauhid pada peringatan hari santri di Jawa Barat kemarin itu adalah insiden-inseden kecil secara kebetulan dan baru masif kerika ada aksi dan reaksi dari 2 belah pihal namun masih yakin tak banyak berpengaruh atau menimbulkan konflik luas di masyarakat” tegas mantan aktifis pemuda berbasis masa Islam modernis ini.

Menurut analisis Toha, momentum politik saat ini sangat terpengaruhi oleh gerakan besar yang di inisiasi oleh GNPF Ulama yaitu gerakan 411 dan 212 berujung putusan politik berjudul ijtima ulama jilid I dan II. Kemudian di respon Jokowi dengan mengambil ulama dari 411 dan 212 Kiai Ma’ruf.

“Gerakan 411 dan 212 ini adalah sebuah rekayasa politik bagi pendukung pemerintah sedangkan bagi oposisi ini adalah sebuah pembeda untuk memperjuangkan keadilan”

“Gerakan 212 adalah momentum gerakan umat Islam membela dan memperjuangkan kebenaran. Tapi di mata kelompok pro petahana, gerakan ini dianggap sebagai sebuah rekayasa politik untuk menghantam penguasa”

Tapi apapun perbedaan pandangan terhadap gerakan tersebut, menurut Toha, terbukti banyak mempengaruhi konstelasi politik nasional, pungkasnya.****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *