Penolakan Gerakan Puisi Esai Deny JA

Penolakan Gerakan Puisi Esai Deny JaSebuah gerakan sastra datang dari Jawa Barat (JABAR) yaitu gerakan JABAR TOLAK Denny JA, tiba tiba menyeruak Minggu 21 Januari 2018, di Studio Jeihan Bandung.

Dalam ulang tahun ke 9 Majelis Sastra Bandung ini, bermula digelar diskusi tentang komunitas sastra di Jabar serta perkembangannya, dengan pembicara Ahda Imran, Juniarso Ridwan dan Heri Maja Kelana.

Lalu muncul Gerakan ini digagas oleh Matdon penyair Jawa Barat Rois,’ Am Majelis Sastra Bandung (MSB)

Rupanya pemantiknya adalah Soal puisi esai yang dilontarkan DJA. Namun gerakan ini muncul akhirnya karena punya alasan yang jelas.

“Ini gerakan Edun,” ujar teman-teman seniman di kota Bandung acara itu.

Lalu muncul group WA berisi sejunlah seniman baik penyair maupun sastrawan, selain Matdon ada Ahda Imran, Acep Zamzam Noer, Hikmat Gumelar dan lainnya.

Kekuatirannya sastra di Jabar ada yang mulai dirasuki, gerakan Jabar Tolak DJA ini tulus.

Matdon mengungkapkan, dalam WAG itu jika teman-teman, group ini dibuat oleh Matdon dan Ahda Imran, dengan maksud bisa menjadi ruang bagi para aktivis sastra di Jawa Barat dalam menyikapi atau saling menukar informasi menyoal gerakan Denny JA lewat puisi esai, sebagaimana ramainya penolakan atas gerakan tersebut. Jika ada teman-teman yang merasa tidak tertarik dengan urusan tersebut, tapi kadung dimasukkan ke group ini, kami mohon maaf, dan kami tidak keberatan untuk keluar dari group.

Namun sambutan makin banyak dan mereka malah menyatakan tidak keberatan kok masuk dlaam Group WA itu.

“Uing ngadukung!,” kata salah satu dari group itu.

Seperti diketahui awalnya ramai di media sosial, gerakan puisi esai Denny JA telah menuai banyak reaksi penolakan. Inti dari penolakan tersebut menyasar pada bagaimana Denny JA telah menggunakan kekuatan modalnya untuk membayar para penulis 5 juta rupiah untuk menulis puisi esai. Gerakan bekerja diam-diam menyebar para orang mirip calo tenaga kerja ilegal, mengajak orang nulis puisi esai dan langsung teken kontrak 5 juta. Di beberapa provinsi tercatat para penulis yang terlibat dalam gerakan tersebut (Jabar tidak ada). Gerakan ini semata-mata ditujukan demi makin menguatkan dirinya sebagai tokoh paling penting dan berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia. Ini jelas gerakan atau manipulasi yang culas. Karena itulah wajar muncul berbagai reaksi. Karena itu:

1. Bagaimana reaksi kita terhadap manipulasi sastra semacam ini?
2. Dalam bentuk apa sikap dan reaksi penolakan itu kita nyatakan?

Selain itu ada kasus lainnya Bagaimana tuh penulis profil DJA dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia (2015)? Dibayar berapa ya?

Soal angka bayaran saya yakin tak ada seorangpun di sini yang tahu. Satu-satunya yang banyak orang tahu, gerakan puisi esai yang akhir-akhir ini berlangsung dibayar 5 juta setiap penulis. Tapi baik kita fokus saja pada isu gerakan DJA yg baru saja, yg dia sebut “Gerakan Puisi Esai Nasional”.

Matdon membenarkan betul tidak etis, dan nafsu Deni JA ingin disebut tokoh juga tak masuk akal. Saya didatangi anak buah (murid) DJA kantor ditawaran.

Sementara itu penyair Ahda Imran menjelaskan, Menentang puisi esai bukanlah soal bahwa itu akan membuat seseorang jadi makin populer. Bukan. Tapi ini penentangan atas sebuah gerakan yang masif dan sistematis dengan modal duit ratusan juta bahkan miliaran, masuk merusak sastra dan sejarah sastra Indonesia.

“Membiarkan gerakan ini, dengan alasan hanya bikin seseorang tambah populer, sama saja dengan membiarkan kotoran hidung menyebut dirinya penyair dan tokoh penting dalam sejarah sastra Indonesia,” tutur Ahda.

Karena itu tak ada yang terlambat untuk berpikir ulang demi mencegah gerakan yang berbahaya itu.

“kami penyair jawa barat tidak ingin berenang di air kotor,” imbuh Matdon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *