2018, Eka Santosa Canangkan Swasembada Pangan

2018, Eka Santosa Canangkan Swasembada PanganBeberapa jam setelah Kawasan Eka Wisata dan Budaya Alam Santosa di Pasir Impun Kec. Cimenyan Kab. Bandung, meninggalkan tahun 2017, Eka Santosa, Ketua Umum DPP Gerakan Hejo langsung berulah. Ulahnya, di hari pertama tahun 2018, ia mencanangkan Tahun Berkarya untuk Swasembada Pangan !

“Hari ini di Alam Santosa menebar benih padi jenis MSP 1 dan MSP 9. Penasaran, Alam Santosa biar sebagian lahannya ditanami padi yg terbukti 100 hari, menghasilkan 10 ton per hektar,” paparnya dengan menambahkan -“Bicara ini harus sesuai fakta. Hasilnya, nanti disebar ke kelompok tani se Jabar. Ketergantungan petani pada pemerintah harus dikurangi, biar mandiri.”

Dasar pemikiran Eka, sederhana saja:”Terlalu lama petani dinina-bobokan. Akhirnya, jatuh ke lingkaran kemiskinan struktural. Makanya, harus drastis dirubah. Tak ada waktu lagi …”

Dasar lain Eka, ia pernah secara pribadi mengalaminya. Ketika berkiprah di parlemen (1999 – 2013), sempat berkunjung dan berdialog, dengan petani termasuk dengan para pembuat kebijakan pertanian dan pangan di Vietnam, Jepang, dan Korea Selatan:”Simpel saja, lahan mereka jauh lebih sempit. Aneh, tingkat produktivitas pengolahan pangannya jauh di atas kita, dan kualitasnya bagus. Harga jual pun tinggi. Malah bisa ekspor segala ke negara kita.”

Memendam kepenasaran yang cukup lama membebaninya, ia bersama jajaran pengurus Gerakan Hejo dan para Olot (tetua adat) di BOMA (Baresan Olot Msayarakat Adat) Jabar, terus memutar otak – bagaimana menghasilkan padi unggulan yang ramah lingkungan, dan berharga jual tinggi.

“Pemerintah, harus diingatkan. Jangan dibiarkan sendiri mempermainkan kebijakannya. Di lapangan, belum tentu mereka itu benar semua.”

MSP 1 dan MSP 9

Langkah nyata Eka dan jajaran pengurus Gerakan Hejo, pada bulan-bulan penghujung 2017 telah mengontak kelompok tani di berbagai daerah. Akhirnya, ditemukan salah satunya. Petani ini seperi tokoh petani mandiri Surono Danu yang bertahun-tahun menghasilkan varietas unggul padi, bersedia menurunkan segala pengalamannya untuk petani lain.

“Perkenalkan ini Mang Ade asal Desa Situ Jaya Kec. Karang Pamitran Kab. Garut,” ujarnya di petak sawah Kawasan Alam Santosa, yang rencananya akan dijadikan sebagai ‘demplot’ penanaman padi MSP 1 dan MSP 9.

Teknisnya, Mang Ade ini menurut Eka, melalui pengalamannya menanam padi organik di tempat asalnya sejak 2013 bersama sekitar 60 rekannya yang tergabung di Kelompok Tani Karya Sari. Dari sekitar 60 hektar lahan yang digarap kelompok taninya, Mang Ade rata-rata menghasilkan 8,5 ton gabah kering per hektar, dengan harga jual padi sekitar Rp. 4.900 /kg. “Sayang pemerintah setempat tak begitu hirau akan gerakannya,” keluh Eka sambil turut memacul calon petak ‘demplot’ padi organik.

Mang Ade-Tak Digubris !

Sementara itu menurut Dadan Supardan, GM Alam Santosa, seluruh pengalaman Mang Ade selama menanam padi organik di areanya akan dipantau. “Sehari-hari dari pihak Alam Santosa dan Gerakan Hejo, juga BOMA Jabar yang bertanggung jawab pada ‘demplot’: “Ada Mang Dadang, beliau sehari-hari mengontrol pertumbuhan padi. Yang diawasi mulai kondisi atau unsur tanah (pupuk organik), pasokan air, hama, hingga cuaca pun akan diperhatikan.”

“Pola seperti ini yang saya idamkan. Kalau ke Dinas Pertanian di daerah saya, biasanya tak digubris. Mereka sudah baku dengan pembibitan dan pupuk terpusat, padahal banyak bolongnya,” jelas Mang Ade (55) yang terus terang meragukan peran penyuluh pertanian selama ini.

“Kalau bisa, penyuluh pertanian itu bubarkan saja. Di lapangan tak banyak gunanya,” jelas Ade di sela-sela menjemur benih hingga memilih petak yang paling cocok, untuk pembenihan padi organik MSP 1 dan MSP 9.

Pamungkas, reportase ini sejenak bisa menyimpulkan, bahwa kemandirian petani padi khususnya di Indonesia dalam konteks ketahanan pangan dan program swa sembada pangan, harus segera ditumbuhkan:”Tak ada alternatif lain, petani kita harus mandiri. Kapan pun itu terjadi. Lebih cepat, ya lebih baik,” tutup Eka sambil menjelaskan mengapa ia menyimpan leuit (lumbung) di Alam Santosa – “Leuit itu simbol ketahanan pangan dari masyarakat adat. Makanya, belajarlah dari kearifan lokal mereka. Bukan, sebaliknya.” (HS/SA/aksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *