Pilkada Bukan Sarana Pemecah Belah Kesatuan

Pilkada Bukan Sarana Pemecah Belah KesatuanWakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar (Demiz) meminta semua pihak untuk menjadikan pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2018 sebagai pesta demokrasi, bukan sebaliknya menjadi sarana pemecah belah kesatuan masyarakat.

“Bahkan sekarang terjadi polarisasi peristiwa Jakarta (Pilkada) ke Jawa Barat. Ini tidak bisa dipungkuri,” kata Demiz saat menjadi pembicara dalam Expert Meeting “Menyongsong Pilkada Serentak yang Berkualitas di Lumbung Suara” di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Senin.

Dalam paparannya, Demiz ingin Pilkada menjadi momentum untuk pesta demokrasi rakyat, bukan pemecah belah masyarakat.

“Saya kira kita harus melihat ini (Pilkada) betul-betul pesta demokrasi, enjoy. Bukan menciptakan perpecahan dalam masyarakat, apalagi seperti (Pilkada) Jakarta yang lalu.

Menurut Demiz, tidak ada upaya dari para elit politik untuk meredam konflik dampak Pilkada tersebut. Demiz menilai partai politik (parpol) belum mampu membudidayakan berpolitik dengan baik.

Selain itu, politik transaksional juga masih marak terjadi antara parpol atau kontestan Pilkada dengan masyarakat atau pengusaha.

Untuk itu, pada kesempatan ini Demiz mengajak kepada semua pihak agar menjadikan Pilkada sebagai ajang pesta demokrasi melalui kemeriahan politik yang santun dan damai.

Ia mengatakan Pilkada harus mencerminkan bahwa perjalanan demokrasi bangsa ini semakin maju, sehat, dan berkualitas.

“Ketika kampanye tahun 2013 lalu saya pernah mengatakan bahwa Pilkada ini, Pemilihan Gubenur ini tidak terlalu penting dalam hidup kita karena tidak berpengaruh secara langsung untuk kalian masuk surga atau neraka,” kata dia.

“Yang penting itu bagaimana menjalin silaturahim di antara kalian dalam Pilkada ini dan itu berhubungan langsung dengan kalian masuk surga atau neraka,” lanjut dia.

Dalam paparannya di hadapan para peneliti senior LIPI, Demiz mengambil judul “Menyongsong Pilkada Jawa Barat yang Berkualitas”.

Kualitas demokrasi di zaman now, sebut Demiz, bisa dilihat dari beberapa hal, yang dia sadur dari karya tulis “Keadilan Pemilu (Towards an International Statement of Principles of Electoral Justice, Accra, Ghana, 15 September 2011).

Di antaranya integritas yang tinggi dari lembaga penyelenggara, partisipasi publik tinggi, berdasarkan hukum yang berkepastian tinggi, imparsial (netral/tidak memihak) dan adil, profesional dan independen, transparan, tepat waktu sesuai dengan rencana, tanpa kekerasan atau bebas dari ancaman dan kekerasan, teratur dan peserta pemilu menerima wajar kalah atau menang.

“Dalam konteks Indonesia, sudah ada acuannya, yaitu prinsip-prinsip Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil,” kata dia.

Untuk itu, kata Demiz, ada beberapa tolok ukur sosial dalam menentukan kualitas pemilu demokratis yang berkualitas, yaitu mempromosikan budaya politik adiluhung dari level elit politik nasional hingga lokal, masyarakat makin dewasa dalam perbedaan politik dalam demokrasi.

Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) Lipi, Firman Noor menyebutkan bahwa Pilkada Serentak yang dimulai sejak 2015 di 370 daerah di Indonesia masih menunjukkan berbagai masalah, khususnya terkait dengan kapasitas bakal calon popularitas dan elektabilitas balon, proses kandidatisasi di parpol dan biaya politik yang tinggi.

Dampaknya, kata dia, yaitu terjadi tindak pidana korupsi dan terhambatnya perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik.

Selain itu, hal tersebut juga tidak hanya mengakibatkan konsolidasi demokrasi berjalan lamban tetapi juga berpengaruh terhadap kualitas Pemerintah Daerah.

“Tingkat partisipasi masyarakat pada Pilkada Serentak 2015 dan 2017 menurun dengan kisaran sepuluh sampai dengan 20 persen. Kecuali Pilkada Jakarta yang justru meningkatkan partisipasi masyarakat di tahun 2017,” kata dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *