Hantu ala Orang Sunda di Mr.Guan Coffee and Books

Hantu ala Orang Sunda di Mr.Guan Coffee and BooksIhwal keberadaan kepercayaan orang Sunda akan mahluk gaib alias siluman, tak bisa dibantah. Nyata, adanya. Ambil contoh, hikayat Sangkuriang yang ngotot ingin menikahi ibunya sendiri, Dayang Sumbi. Memenuhi persyaratan mustahil Dayang Sumbi, Sangkuriang membendung sungai Citarum, lalu mencipta perahu dan melayarinya. Konon, Sangkuriang dipercaya kekuatannya dibantu pasukan siluman taklukannya. Maka berjenis-jenis alias aneka mahluk gaib, alias pula hantu di merata tempat pelosok tatar Sunda, punya nama khas. Dipercaya, berkiprah dengan alam semesta dan warganya, dulu, kini, dan masa mendatang!

Paparan di atas itu hanya seuprit yang di antaranya dikupas sastrawan Sunda Atep Kurnia pada Sabtu, 25 November 2017 di Mr. Guan Coffee and Books di Jl. Tampomas No. 22, Gatot Subroto, Bandung. Persoalan lain, mengapa mengupas aneka siluman orang Sunda di sebuah café ? Bukankah, kini zaman now, sudah serba digital, siluman itu masih adakah? Asumsinya, bukankah hanya tersisa dalam bentuk game saja?

“Tujuannya, semata demi menaikkan lagi pamor siluman Sunda dalam konteks sastra sebagai kekayaan bangsa. Kami fasilitasi, para sastrawan Sunda membincangkannya. Syukur-syukur, bisa menumbuhkan ekonomi kreatif, dalam konteks kekinian,” papar Rocky Martakusumah manager Mr.Guan Coffee and Books, yang juga cucu dari sastrawan Ki Umbara (1914 – 2004), selaku penulus produktif tentang ‘kiprah’ aneka siluman yang eksis di tatar Sunda.

Hadir dalam gempungan sastra Sunda selain Atep Kurnia, juga satrawan Sunda jaman kiwari H. Usep Romli H.M, budayawan Aat Suratin, juga ada nara sumber Iyan. Personal ini, dikenal sebagai salah satu putra dari Ki Umbara. “Gempungan ini sangat bermakna, kehadiran siluman dalam satra Sunda betapa kita punya kekayaan intelektual. Sayang, kini tergerus dengan munculnya zaman now. Namun, ini pun tantangan bagi generasi muda untuk berkreativitas.”

Muncul dalam wacana satra Sunda di Mr Guan Coffee Books dibahas aneka siluman dari jaman ke kejaman mulai dari Haji Hasan Mustapa (1895 – 1916), Moh. Ambri (1892 – 1936), Ki Umbara (1914 – 2005), hingga roman pop Sunda era 1960 dan 1970-an. “Ini tugas generasi muda, meneruskan proses kreatif demi penguatan jati diri kita, Nasibnya pada jaman now, saya yakin beprospek, asal digarap dengan baik,” kata Aat Suratin yang tampak serius nimbrung membicarakan aneka siluman Sunda – “Tak pedulilah di zaman now, yang namanya jurig pasti masih ada. Buktinya, dalam kehidupan kita gonjang-ganjing dalam segala lini, terus terjadi. Ini kan, mungkin kiprah kita yang tergoda spesies jurig atawa syaiton itu.”

Terpenting ihwal aneka siluman di kalangan waga Sunda yang dibahas secara satrawi kali ini, memunculkan gairah dari kawula muda yang hadir dalam gempungan ini. “Kami tergerak membuat karya siluman Sunda dalam bentuk digital di zaman now, ini. Maksudnya, ternyata sarat dengan kearifan lokal juga, seperti pamali yang dulu ada di antara kita. Versi pamali, di zaman now ya harus kita cari yang baru. Biar kita hidup lebih maslahat” tutp Ferdi (23) mahasiswa salah satu PTN di Bandung. (HS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *