Dose Hudaya: Pop Sunda Masuk Ranah Kebudayaan

Dose Hudaya: Pop Sunda Masuk Ranah KebudayaanDose Hudaya bukan pemain baru di jagat Pop Sunda. Sejak awal 90an pencipta lagu dan produser teureuh Tasikmalaya ini sudah memproduksi album-album Pop Sunda.

Sempat vakum beberapa tahun, sejak tahun 2009 Dose Hudaya mulai terjun kembali di jagat Pop Sunda dengan merilis album kompilasi berjudul “Bentang-Bentang” Jilid I. Penyanyinya diantaranya almarhum Darso, Sule, Wina DH.

Kiprah Dose Hudaya terus berlanjut. Tahun 2011 merilis album kompilasi “Bentang-Bentang” Jilid II, dan tahun 2013 merilis “Bentang-Bentang” Jilid III yang menampilkan Evie Tamala, Didi Kempot, dan grup Debu. Bukan itu saja. Dose pun memproduksi album Pop Sunda solo Darso, Evie Tamala, dan merekam penyanyi-penyanyi pemula yang dijaring lewat audisi.

“Sebagai orang Sunda tentu saya punya keinginan untuk ikut memakmurkan dan memajukan dunia Pop Sunda. Makanya album Bentang-Bentang dibikin beda, baik dari segi musik maupun klipnya,” ujar seniman yang juga pengacara papan atas bergelar akademis SE, SH, dan MH ini.

Hanya saja, sampai tahun 2016 ini, DHP (DH Production), label milik Dose Hudaya, tidak menggarap lagi Pop Sunda.

“Sejak 2014, industri rekaman Pop Sunda sudah tidak kondusif. Pertama dari sisi mata rantai tata niaganya. Sebelum tahun 2014, ada distrbutor yang bernama PD Tropic. Semua produksi Pop Sunda, bahkan produksi produser-produser Jakarta yang edar di Jabar, hampir semuanya edar lewat Tropik. Dengan tutupnya Tropic pada tahun 2014, tidak ada lagi distributor. Produser pun kesulitan untuk memasarkan produksinya,” papar Dose ketika ditemui dikantornya, Cilengkrang I, Bandung.

Ketiadaan distributor, menurut Dose, tidak Lepas dari lesunya industri Pop Sunda yang diakibatkan oleh maraknya pembajakan.

“Mungkin distributor menghentikan usahanya karena pasar semakin lesu akibat pembajakan. Untuk memberantas pembajakan pun sekarang ini aparat penegak hukum terkendala oleh Undang-Undang baru Hak Cipta yang memperlakukan pembajakan karya cipta lagu sebagai delik aduan. Disini kesulitannya bagi seniman atau produser. Jika karya kita dibajak, kita harus lapor ke polisi di mana karya kita dibajak. Bayangkan kita harus melapor di sekian kota atau kabupaten. Buang waktu, tenaga, dan biaya,” papar Dose yang sekarang aktif di jalur Pop Indonesia dengan memproduksi band Hijau Daun, Ruri Republik, Cynthia Ivana, Adhesa Pasase, Margin, Matt Drajat alias “Kang Komar”, dan single mendiang Utha Likumahuwa yang belum pernah diedarkan.

Menurut Dose, pemerintahan di Jawa Barat, baik Provinsi mau pun Kota/Kabupaten, sebaiknya tidak berdiam diri melihat keterpurukan industri rekaman musik Pop Sunda atau Tradisi Sunda.

“Persoalan yang membelit dunia rekaman musik Sunda, baik Pop mau pun Tradisi bukan semata-mata persoalan industri, tapi juga persoalan kebudayaan. Industri rekaman itu merupakan alat pelestarian musik dan bahasa Sunda. Musik dan bahasa masuk ke ranah kebudayaan, jadi pemerintah harus turun tangaan untuk mengangkat dunia rekaman musik Pop Sunda dan Tradisi Sunda dari keterpurukan,” tutur Dose menutup perbincangan.

YOSIE WIJAYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *