Jokowi-JK Tak Mutlak Masukan Partai Pendukung Jadi Menteri

Jokowi-JK Tak Mutlak Masukan Partai Pendukung Jadi MenteriDalam menentukan Kabinet Kerja, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla seharusnya tak mutlak memasukan dari kalangan partai pendukung sebagai menteri. Sebab, menurut peneliti senior LIPI Syamsudin, tidak ada perjanjian mengikat setiap partai yang baru mendukung harus menjadi menteri.

“Kan tidak ada hitam di atas putih. Pendatang baru tidak mesti dikonversi ke kabinet,” ujar Syamsuddin di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (2/4).

Isu perombakan kabinet kembali menguat belakangan ini. Dikabarkan, perombakan dilakukan untuk mengakomodasi dukungan yang baru diberikan Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan kubu Djan Faridz ke pemerintahan Jokowi-JK.

Dia menilai, hal ini menjadi tantangan bagi Jokowi. Di satu sisi, pemerintahan mendapat dukungan hampir seluruh partai politik. Di sisi lain, perlu atau tidaknya dukungan itu dibalas dengan memasukkan perwakilan partai dalam Kabinet Kerja.

Partai Amanat Nasional juga mendeklarasikan dukungannya terlebih dahulu pada September 2015. Pada 20 Januari 2016, Jokowi melantik Ketua Majelis Pertimbangan PAN Soetrisno Bachir menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional.

Jokowi dianggap perlu memperhitungkan loyalitas partai pendukung lama. Pada pemilihan presiden 2014, Jokowi-JK didukung enam partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat.

Mereka ialah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai NasDem, Partai Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan kubu Romahurmuziy dan Partai Persatuan dan Keadilan Indonesia.

Perwakilan keenam partai politik itu saat ini masuk dalam 14 jajaran menteri dan setingkat menteri. “Bagaimanapun, mereka yang mengusung dan mendukung saat pilpres lalu. Tapi dilemanya, kinerja menteri (berlatar belakang parpol), tidak optimal semua,” ucap dia.

Sebanyak tiga indikator yang harus dipertimbangkan Jokowi sebelum merombak kabinetnya kali ini. Ketiganya ialah penilaian kinerja, integritas sebagai pejabat publik, dan kerja sama dan loyalitas.

Partai Pendukung Lama Minta Tambah‎

Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura Erik Satrya Wardhana mengaku, tidak ingin jatah menteri yang dimiliki partainya berkurang. Saat ini, Partai Hanura memegang dua jatah menteri yakni Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi dan Menteri Perindustrian Saleh Husin.

“Kami tentu saja tidak mau portofolio dikurangi. Saya malah berharap menjadi tiga atau empat. Kalau bisa partai politik diberikan jatah lebih besar,” kata Erik.

Dia berpendapat, perwakilan menteri berlatar belakang parpol bukan hanya demi balas budi semata. Menteri seharusnya memiliki kompetensi di bidangnya dan berkomunikasi baik dengan legislatif.

Saat ini, kata Erik, masih ada jarak dan perbedaan antara visi presiden dan misi yang dijalankan masing-masing menteri. Sejumlah menteri dianggap tidak mengetahui tugas pokok dan fungsi bidangnya.

“Apakah yang berlatar belakang profesional lebih profesional dari partai politik? Jadi jangan dikotomikan seperti itu,” ucapnya.

Wakil Ketua Komisi Energi DPR ini menilai permasalahan berada dalam proses rekrutmen menteri. Menurutnya, komposisi menteri pada 2014 lalu terbentuk karena sedikitnya waktu Jokowi memilih pembantunya dari sekian banyak pihak yang harus diakomodasi.

Karenanya, dia mendukung adanya perombakan menteri kali ini. Jokowi dianggap perlu memilih pembantu yang sesuai dan mampu menyeimbangi kinerja dan visi misinya.

“Sekarang Jokowi punya waktu tracking kandidat-kandidat yang diusulkan partai. Sehingga presidentau menteri mana yang perlu diganti,” ucap dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *