Didalam Smart City Harus Ada Nilai Kemanusiaan dan Budaya

Smart City tidak hanya berkaitan dengan pembangunan kota secara teknis. Akan tetapi, di dalamnya harus ada nilai-nilai kemanusiaan dan budaya. Sehingga, kota tersebut akan memiliki karakter yang membedakannya dengan kota-kota yang lain.

Selama ini, muncul kekhawatiran, sebutan smart city hanyalah label musiman. Bahkan masih ada anggapan smart city sama dengan cyber city dimana pemanfaatan teknologi lebih dominan.

“Smart city ini dibuat sesuai dengan kebutuhan kotanya untuk melayani warga secara lebih efisien,” ujar Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung (ITB) Ridwan Sutriadi. Ia hadir sebagai pemateri dalam kegiatan forum grup diskusi tentang smart city yang diselenggarakan atas kerja sama Universitas Pasundan dan Harian Umum Pikiran Rakyat di Aula Jalan Asia Afrika, Senin 28 Maret 2016.

Menurut Ridwan, ada enam karakteristik sebuah kota dikategorikan smart city. Karakteristik tersebut antara lain ikatan masyarakat dengan tata ruang, peningkatan jejaring dengan masyarakat, dan mengakomodasi kalangan minoritas. Karakteristik lainnya, meningkatkan daya saing ekonomi, adanya role model kepemimpinan, dan menjunjung tinggi sejarah serta budaya.

Namun, yang dikhawatirkan, kata Ridwan, teknologi dijadikan ukuran smart city. Padahal ‘smart’ itu mesti dimulai dari warganya. Setelah tercapai konsep kematangan masyarakat, smart city ini hanya berupa perluasan konsep akses dengan dukungan teknologi.

“Konsep salah kaprah kehadiran teknologi terhadap penataan ruang sering ditemukan,” kata Ridwan.

Oleh karena itu, sebelum membangun smart city, Ridwan mengatakan perlunya kajian tentang kebutuhan kota itu sendiri. Kebutuhan itu didasaarkan juga pada kearifan lokal sehingga tidak terjadi penyeragaman budaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *