Pelajar Indonesia di Belanda Bangkitkan Kembali ‘Bung Hatta’

stuned belandaKetika keunggulan global menjadi suatu keniscayaan di era yang sudah semakin tak berbatas (borderless), semakin kecil dan semakin terhubung (connected), hampir seratus tahun lalu hal itu sudah disadari oleh Muhammad Hatta yang pada tahun 1921 pergi ke Belanda untuk menuntut ilmu di bidang ekonomi. Hatta muda di tengah masa kolonialisme tidak terperangkap dengan inferioritas sebagai pelajar dari Negara koloni. Ia justru membuktikan keunggulannya di bidang akademik dan juga memanfaatkan keberadaannya di negeri Belanda untuk mengembangkan jejaring internasional yang semuanya adalah amunisi yang dipersiapkannya untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Selama 11 tahun di Belanda, Hatta tidak saja menggali ilmu tapi juga mengkaji ilmu dan bertransformasi menjadi manusia unggul dan berdaya saing.

StuNed Day
Inilah yang mendasari para pelajar Indonesia penerima beasiswa StuNed yang sedang studi di Belanda menggagas forum diskusi bertema : “In the Footstep of Hatta: How to Build Global Competitiveness” yang digelar pada acara tahunan StuNed Day di KBRI di Den Haag, Belanda pada tanggal 19 Maret 2016. Acara yang dihadiri oleh sekitar 140 pelajar Indonesia di Belanda ini juga dihadiri oleh Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, atase pendidikan dan kebudayaan Prof Bambang Hari Wibisono, Direktur Asia Oceania Kementerian Luar Negeri Belanda, Peter Potman dan Direktur Nuffic Neso Indonesia, Mervin Bakker.

Daya Saing Global
Duta Besar Puja dalam sambutannya mengatakan bahwa selama masa studi di Belanda para pelajar harus benar-benar memanfaatkan secara maksimal bukan saja kualitas dan fasilitas pendidikan yang ada, tapi juga kesempatan mengembangkan jejaring internasional sehingga dengan segala perubahan yang terjadi mereka memiliki daya saing tinggi di tataran global. Peter Potman sebagai wakil dari pemerintah Belanda menekankan pentingnya peran para pelajar bagi masa depan kerjasama bilateral Indonesia dan Belanda. Mervin Bakker, Direktur Nuffic Neso Indonesia sebagai organisasi pengelola beasiswa StuNed juga menegaskan bahwa semangat, passion dan antusiasme juga harus dimiliki oleh para pelajar jika ingin output yang maksimal, baik dari sisi akademis maupun pengembangan diri.

‘Glocality’
Diskusi yang dipandu oleh Wildan Ghiffary,mahasiswa program master bidang Marine Resource Management di Wageningen University, berjalan dengan sangat dinamis dan kritis. Diskusi ini menampilkan dua panelis yaitu Ade Siti Barokah, mahasiswa program master bidang Development Studies, Social Justice di International Institute of Social, Erasmus University Rotterdam dan Akhmad Khabibi mahasiswa program master bidang Financial Management and Control, di The Hague University of Applied Sciences. Ketiganya adalah penerima beasiswa StuNed . Khabibie memaparkan beberapa keunggulan dan daya saing Indonesia dari sisi sumber daya alam, geografi dan demografi, sementara Ade memaparkan tentang konsep ‘glocality’ : global dan local, yang mengawinkan penguasaan keterampilan global dan kesadaran akan nilai-nilai luhur ‘lokal’ menjadi suatu keunggulan kompetitif. Ade menjelaskan seyogyanya kearifan lokal itu lah yang merupakan winning potential dalam persaingan global.

Seperti Hatta
Para pelajar Indonesia di Belanda sepakat bahwa untuk unggul dan kompetitif secara global dituntut adanya tekad untuk mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki. Seperti Hatta, para pelajar bertekad untuk memanfaatkan masa studi di Belanda seoptimal mungkin, bukan saja untuk menggali ilmu, tapi juga mengkaji dan mengembangkan ilmu yang didapat untuk diterapkan di tanah air seperti apa yang dilakukan Muhammad Hatta dulu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *