Eka Santosa: Jawa Barat Darurat Lingkungan

Eka Santosa: Jawa Barat Darurat LingkunganEka Santosa (,mantan Ketua DPRD Jabar (1999 –2004), dan Ketua Komisi ll DPR RI (2004 –2009), dalam rangka Hari Pohon Sedunia yang biasa diperingati setiap 21 November, pada 25 November menyelenggarakan Sawala Lingkungan. Penyelenggaraan Sawala Lingkungan kali ini bertema khas –Jawa Barat Darurat! “Saya menangkap kegelisahan warga Jabar atas degradasi nyata. Utamanya, menyangkut kondisi lingkungan dalam 10 tahun terakhir. Tata ruang dan alih fungsi lahan merata terjadi dimana-mana”.

Lebih jauh menurut Eka Santosa, yang dimaksud degradasi itu kawasan lindung Jawa Barat yang seharusnya 45%, tetap saja 20% stagnan, bahkan cenderung menurun. Lahan kritis, kini terhitung sekitar 600.000 hektar di Jawa Barat. Berbicara soal kondisi sungai, menurutnya 50% tidaklah bersih. “Tambahan lagi, 95% kondisi sungai di pekotaan tercemar limbah”, ujarnya yang sejak Mei 2015 mengembalikan mandatnya selama dua tahun sebagai Ketua DPW partai NasDem Jabar kepada Surya Paloh.

Sepenuhnya, kini Eka Santosa berkonsentrasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan budaya. Jabatan yang kini disandangnya, antara lain sebagai Pangaping (Penasehat) BOMA (Baresan Olot Masyarakat Adat) Jabar, Ketua Forum DAS Citarum, dan sebagai Ketua Harian IKA Unpad. “Kembalinya saya pada kegiatan non partai, salah satu pertimbangannya dari para olot (ketua adat – red.). Berkali-kali olot mengingatkan saya untuk berkiprah pada kegiatan lingkungan yang kini semakin rusak. Musim hujan, longsor dan banjir terjadi dimana-mana. Sebaliknya saat kemarau, rakyat mengalami krisis. Keseimbangan hidup manusia dengan alam seperti yang biasa diajarkan masyarakat adat dengan kearifan lokalnya, makin jauh panggang dari api. Hasilnya, bencana dimana-mana”.

Darurat Berat!

Kembali, sehubungan Hari Pohon Sedunia pada tahun ini, ditambah dengan kegelisahan atas amburadulnya tata lingkungan di Jabar yang menurutnya:”Sudah pada tahap ubun-ubun yang akut stadium empat, darurat berat!”. Atas dasar kesepakatan dan arahan dari sesepuh Jabar Solihin GP (90), mantan Gubernur Jabar 1970 – 1974, yang telah lama merasakan keprihatinan yang sama dalam hal “awut-awutan” kondisi lingkungan, hari ini (25/11/2014) dicanangkan sebagai titik awal perenungan sekaligus gugatan – Jawa Barat Darurat.

“Salah satu mata acara Sawala Lingkungan, dicanangkan hari ini Gerakan Hejo. Ini semacam gerakan moral untuk menggugah warga Jabar dan Indonesia agar kembali ke jatidiri bangsa yang berbudaya tinggi – Pohon adalah faktor inti keseimbangan alam, utamanya sebagai penyimpan dan sumber air, selain produsen oksigen”, tutur Eka Santosa yang menghadirkan para pakar membahas aneka topik kedaruratan lingkungan.

Para pakar tersebut yang membahas kerusakan hutan dan sungai oleh Forum DAS Citarum, Sapto Prayogo, paparan kerusakan pesisir dan pencemaran air oleh Ir. Husein, dan paparan kerusakan lingkungan terutama kondisi perikanan yang memprihatinkan di Jabar. “Kita simak apa inti paparan dari para pakar lingkungan, yang ditanggapi ratusan peserta Sawala Luhung yang terdiri dari lintas komunitas. Mereka ini, rata-rata berasal dari satuan peduli lingkungan yang tidak terakomodir oleh aneka gerakan lingkungan yang marak. Jadi mereka ini front terdepan yang peduli lingkungan”, papar Eka sembari memberi arahan kepada puluhan relawan yang tergabung pada Gerakan Hejo.

Kerucut Gerakan Hejo

Sebagai gerakan moral, Eka Santosa mewanti-wanti dalam waktu dekat diharapkan merata bergerak di pelosok Jawa Barat. “Ini kesadaran berawal dari warga yang selama ini tak dipedulikan oleh para pemimpin atau penguasa di merata tempat. Mereka ini kerap mengadu kepada kami, menyangkut permasalahan lingkungan yang tidak memakmurkan kita. Diluar dugaan, respon dari pelosok Jabar sudah, menginginkan pada tahap pelaksanaan. Dalam minggu depan, rekan di Bogor, Karawang, Garut, Cirebon, Tasikmalaya, sudah meminta untuk mengimplementasikan Gerakan Hejo”, jelas Eka menyoal reaksi rencana kiprah gerakan ini.

Menurut Harri Safiari, Kehumasan Gerakan Hejo, sejatinya ada tiga hal utama dalam Gerakan Hejo yang bertumpu pada implementasi restorasi (mengembalikan) fungsi dan peran keseimbangan lingkungan di level horizontal khususnya:”Gerakan ini harus berpola pada unsur ekologi, edukasi, dan ekonomi. Secara bertahap hal ini sedang digarap secara simultan”.

Dimata Wa Ugis, Tetua Adat dari Sinar Resmi, Kabupaten Sukabumi yang tergabung dalam SABAKI (Sa-Banten Kidul), dan hadir di Alam Santosa sebagai bagian utuh dari BOMA (Baresan Olot Masyarakat Adat) Jabar, kehadiran Gerakan Hejo disambut baik. “Bagi kami masyarakat adat, ini adalah hal biasa kami lakukan sehari-hari. Bersyukur, bila banyak pihak mulai berpaling pada pola hidup yang berbasis kearifan lokal dalam mengelola lingkungan. Jabar yang makin hijau dan kehidupan warganya yang makmur. Setidaknya, moal ngejo lamun teu hejo. Semoga gerakan iini makin berkembang”.

Bagi Jajang Sanaga, Ketua Harian BOMA Jabar, Gerakan Hejo sebaiknya tak berhenti pada hari pencanangan saja.”Jutaan bibit pada komunitas masyarakat adat Sanaga di sekitar Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, sudah lama kami semai untuk penghijauan di Jabar maupun Nusantara. Semoga ini dapat memeberdayakan ribuan warga kami dalam hal pemberdayaan ekonomi, diantaranya”.

Begitu pun bagi Bah Uluk, tetua Kampung adat Dukuh di Cikelet Kabupaten Garut Selatan:”Pengertian hutan bagi kami tak sekedar hijau atau hejo belaka. Lebih jauh fungsinya sesuai amanat karuhun yakni Tri Tangtu (Rama Ratu Resi). Di hutan dan di sekitarnya hidup mahluk eling, mahluk cicing, dan mahluk nyaring. Tiga unsur ini tergambar jelas sebagai pola keseimbangan hidup. Hal ini sudah langka di Jabar. Akibatnya, kita terperosok sekarang dalam keadaan darurat lingkungan. Segera hal ini harus diperbaiki melalui Gerakan Hejo”.

Penganugrahan Gelar

Menarik disimak dalam pencanangan gerakan Hejo ini, sebelum acara dimulai secara resmi mengupas makna Jabar Darurat Lingkungan, dilakukan penganugrahan dari BOMA Jabar kepada Laksamana TNI Ade Supandi S.E selaku warga Jabar yang kini berkiprah di tingkat nasional. Anugrah kepada Ade Supandi sebenarnya telah dilakukan pada 2 Mei 2015 lalu. “Baru tadi malam (24/11/2015) Kang Ade mengkonfirmasi kehadirannya ke Alam Santosa. Tentu ini akan menambah semarak pencanangan Gerakan Hejo. Bagi BOMA Jabar, Kang Ade sebenarnya telah lama menjadi ‘kerabat besar’ kami”, kata Eka Santosa yang juga telah memberikan gelar yang sama kepada rekannya Susi Pudjiastuti, Menteri KKP sebagai Wadona Pinjunjul. “Tinggal Ibu Susi yang belum sempat melakukan seremoni penganugrahan gelarnya dari BOMA Jabar. Semoga dalam waktu dekat Ia bisa menerimanya seperti Kang Ade Supandi”.

Jabar Darurat

Makna pencanangan Gerakan Hejo sebagai gerakan moral yang berujung pada implementasi mengembalikan fungsi hutan sebagai inti keseimbangan alam, diharapkan dapat menstimulasi warga Jabar pada pentingnya kita merawat, menjaga, dan menambah secara fisik luasan hutan di Jabar yang dalam 10 tahun terakhir semakin berkurang.

Konsep darurat lingkungan, diharapkan menjadi pemantik – Gerakan Hejo langsung membumi dengan karya nyata.

Menghijaukan bumi Jabar, diharapkan tak sekedar jargon belaka. Makanya keterlibatan BOMA Jabar yang memiliki jutaan warganya di pelosok Jabar dengan kearifan lokalnya selama ini, bisa memperlancar penghutanan kembali Jabar.

Peran Forum DAS Citarum, yang “dikawinkan” dengan BOMA Jabar, diharapkan dapar memperkuat kesadaran kita – Jabar sudah pada tahap stadium empat dalam hal kerusakan lingkungannya, terutama hutan, sungai, dan pesisir selatan serta utara Jabar.

Eksploitasi alam dan lingkungan yang dilakukan oleh pemegang amanah dengan pola kepemimpinan yang sudah kebablasan (tambang pasir besi, pencemaran sungai, penggundulan hutan, amburadulnya tata ruang, dll), harus dihentikan dengan segera. Penggantinya, Gerakan Hejo harus terus kita jalankan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *