Menggarap Sisi Estetika Wisata Ziarah

Wisata ziarah agaknya perlu digarap lebih serius karena sumbangannya pada pendapatan negara dari sektor kepariwisataan dinilai mulai menjanjikan.

Pertumbuhan wisata ziarah tentu masih berkisar pada pertumbuhan turisme domestik sebab wisatawan asing ke Indonesia pada umumnya bukan dalam rangka wisata ziarah.

Bisa jadi ada para pengikut Buddhisme yang berwisata ziarah ke Borobudur, namun jumlah mereka belum signifikan, setidaknya jika dibandingkan dengan para pengikut Kristen yang berwisata ziarah ke Betlehem, apalagi jika dibandingkan dengan pengikut Islam yang mengunjungi kota suci Makkah.

Betapapun wisata ziarah masih sebatas dilakukan turis domestik, Kementerian Pariwisata agaknya bertekad untuk menggarap lebih serius plesir spiritual ini.

Seperti diberitakan sejumlah media, Menteri Pariwisata Arief Yahya berencana meminta keterlibatan seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan dan memperbaiki tata kelola destinasi wisata ziarah di Tanah Air.

Arief Yahya mengatakan akan fokus pada tiga hal untuk membangun dan memperbaiki tata kelola destinasi wisata ziarah, yakni pemasaran, destinasi dan sumber daya manusia.

Sebenarnya ada yang lebih fundamental untuk dijadikan bahan pemikiran dalam menggarap wisata spiritual ini. Pemerintah perlu menyadari bahwa wisata ziarah harus dipandang dalam perspektif yang lebih luas, tak sekadar meliputi wisata ziarah yang umum dipahami publik selama ini.

Artinya, ada tuntutan untuk mendengar suara dari kelompok minoritas seperti pengikut Hinduisme yang merasa bahwa banyak situs-situs kuil atau candi yang ada di berbagai tempat di Tanah Air tak dikategorikan sekadar sebagai cagar budaya.

Ada suara melalui media sosial dari salah seorang pengikut Hinduisme bahwa sudah saatnya pemerintah memasukkan situs-situs cagar budaya yang berupa candi dan kuil itu juga sebagai tempat-tempat ibadah suci sebagaimana umat Islam memandang masjid atau mushala.

Tentu selama ini tidak ada kategori dari pemerintah untuk memasukkan cagar budaya sebagai tempat suci, namun pemasyarakatan makna kesucian candi dan kuil perlu dilakukan.

Dengan demikian, masyarakat juga terdidik untuk menghormati keyakinan religius umat Hindu sehingga perusakan dan penggusuran tempat-tempat suci berupa candi tak terulang kembali.

Bagi pengikut Hindu, rumah ibadah memiliki makna yang lebih luas dan dalam. Situs-situs peninggalan kerajaan-kerajaan kuno di Tanah Air yang berada di bawah kekuasaan Majapahit dan Singosari, misalnya, dinilai sebagai bagian dari rumah ibadah umat Hindu.

Dalam konteks inilah, kepekaan terhadap tempat ibadah Hindu oleh masyarakat luas dari lintas keimanan perlu dibangun untuk mengatasi ketidakmengertian atas nilai spiritualitas peninggalan kerajaan yang berkeyakinan Hindu di masa lalu.

Selama ini mayoritas warga non-Hindu, yang menganggap situs-situs bersejarah itu sekadar benda arkeologis belaka tanpa makna spiritual yang dijunjung oleh umat Hindu.

Karena tak adanya pemahaman di sejumlah orang tentang tempat-tempat suci Hindu, terjadilah tragedi pembakaran petilasan Yoganing Dipantara Gunung Wayang di kaki Gunung Wayang, pembakaran Pura Sangkareang di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan kasus lain yang tragis.

Menteri Pariwisata agaknya perlu ikut berperan dalam promosi melindungi tempat-tempat suci Hindu sebagai bagian dari promosi wisata ziarah bagi umat Hindu.

Usaha membantu segi finansial kepada pengelola situs wisata ziarah yang dijanjikan Arief Yahya agaknya menjadi kebutuhan mendesak. Dana itu konon akan dipakai untuk meningkatkan kebersihan sanitasi di lokasi-lokasi wisata ziarah. Sebetulnya, bukan cuma sanitasi yang perlu dibenahi untuk meningkatkan daya estetika lokasi wisata ziarah.

Di kompleks makam Wali Songo Sunan Giri, di Gresik, misalnya, perlu pembenahan lokasi untuk meningkatkan pesona dan kenyamanan bagi pengunjung.

Di lokasi puncak perbukitan tempat jasad penyebar agama Islam itu disemayamkan, kegersangan semak belukar mendominasi pemandangan di mata peziarah yang mengunjungi tempat itu di saat kemarau tiba.

Andaikan pengelola diberi dana untuk menanami beragam bunga warna-warni atau pemohonan yang rindang, dengan risiko pengeluaran biaya perawatan rutin, keindahan kompleks makam Sunan Giri akan tercipta. Dan peziarah akan punya impresi estetis ketika mengunjungi lokasi itu. Akhirnya, dalam benak peziarah akan tertinggal kenangan atau memori yang manis dan tak mustahil mereka akan rindu untuk berkunjung kembali ke tempat itu.

Kesan kurang nyaman, sebaliknya, membuat peziarah untuk tak merasa ingin kembali ke lokasi peziarahan. Bisa jadi banyak lokasi-lokasi wisata ziarah yang perlu sentuhan estetika dari tangan-tangan seniman untuk mengubah situas ziarah itu menjadi lebih indah dan memukau sehingga meninggalkan impresi positif pada benak setiap pengunjung.

Pelibatan kaum pekerja bidang estetika untuk memoles wajah wisata ziarah perlu diteruskan dan lebih diintensifkan oleh Arif Yahya dan jajarannya. Para pematung terkemuka seperti Mochamad Syahilillah telah merancang patung Jesus Sang Raja di bukit Fatucana Dili Timor Leste.

Ada rencana pembangunan patung serupa di bumi Toraja sehinga bisa menambah situs-situs untuk wisata ziarah yang dapat meningkatkan dunia turisme di Tanah Air. Di sini ada ambisi untuk memecahkan rekor sebagai patung Jesus tertinggi di dunia sehingga mengalahkan yang di Brazil.

Syukur-syukur pada akhirnya patung ini bisa menyedot wisatawan asing sehingga menambah devisa dari sektor kepariwisataan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed