Bukan Sekadar “Ngopi”

Bukan Sekadar "Ngopi"Kopi mulai dikembangkan ribuan tahun lalu di Afrika, dan sejak itu kopi menjadi sebuah “pencarian” pengalaman tiada henti.

“Proses mencari ini membuat kopi menjadi menarik,” kata Handoko Hendroyono, produser film Filosofi Kopi, fiksi drama berlatar belakang dunia minuman berkafein itu.

Sampai dia terlibat dalam film yang diangkat dari cerita pendek karya Dewi “Dee” Lestari itu, Handoko mengaku bukanlah peminum atau pun penikmat kopi.

Sembari bekerja Handoko pun mulai mencicip hingga dirinya mengetahui seluk-beluk si buah bermarga Coffea, asal dari minuman hitam berasa pahit tersebut.

Mulai berkeliling ke berbagai perkebunan kopi, sampai melakukan studi banding ke Vietnam, belum termasuk berkunjung ke beberapa kedai, warung hingga kafe pengolah kopi terkenal Tanah Air.

“Saya pun sampai pada kesimpulan, kopi adalah anugerah bagi Indonesia. Negara kita memiliki kekayaan kopi yang luar biasa karena tanaman ini cocok untuk ditanam di daerah pegunungan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa dirinya akan membuat sekuel Filosofi Kopi sebagai penghargaannya terhadap salah satu minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia itu.

Lain lagi dengan Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Jawa Tengah Mulyono Soesilo. Meminum kopi baginya sebuah penambahan wawasan, apalagi dinikmati bersama kerabat dan sahabat.

Rileks, tenang, itulah gambaran perasaan Mulyono setelah “ngopi”. “Bisa berada di posisi saya sekarang, apa yang saya dapatkan saat ini, semua berkat kopi,” tuturnya.

Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) mencatat biji kopi mulai masuk ke Indonesia melalui Batavia (Jakarta) pada tahun 1696 dengan jenis arabika.

Tanaman itu dibawa oleh Komandan Pasukan Belanda Adrian van Ommen dari Malabar, India, dan dikembangkan di wilayah yang kini dikenal dengan Pondok Kopi, Jakarta Timur.

Kopi yang umumnya dibudidayakan adalah jenis arabika, robusta, dan liberika. Di Indonesia, kopi jenis tersebut berkembang menjadi berbagai macam kopi, seperti kopi lintong dari Sumatera Utara, kopi toraja dari Sulawesi Selatan, kopi wamena dari Papua sampai yang terkenal kopi luwak.

Semua kopi itu, di tangan para peracik kopi atau barista, lahirlah olahan yang berbeda-beda, mulai dari sajian tradisional yaitu kopi tubruk, kemudian penyajian ala negeri Eropa, yaitu espresso, “latte”, sampai capucino.

Dari sekian banyak macam itu, tentu wajar jika orang banyak bertanya, kopi apa yang terbaik dari semuanya?

Muhammad Aga, barista muda yang pernah jadi juara pertama Indonesia Barista Competition regional Jakarta, menjawab pertanyaan itu sambil tertawa.

“Ini memang paling sering ditanyakan. Bicara soal kopi terbaik itu agak susah karena masing-masing individu punya selera berbeda-beda,” ujar Aga, sapaan akrabnya.

“Kopi terbaik adalah kopi bikinan sendiri,” timpal Ve Handojo, salah satu pendiri dan pemilik A Bunch of Caffeine Dealers (ABCD) School of Coffee, lembaga penghasil para barista berlokasi di Pasar Santa, Jakarta.

Ve mengatakan bahwa dirinya tidak pernah bisa memberikan rekomendasi kopi terenak dan tebaik kepada siapa pun. Karena sekali lagi, kopi itu subjektif.

Jawaban sedikit “membuat dahi mengernyit” datang dari Moelyono, Wakil Ketua AEKI Jateng. Kopi yang baik adalah kopi yang diolah dengan hati dan rasa cinta.

“Kalau barista baru saja putus cinta, saya sarankan jangan buat kopi. Pasti rasanya gak enak,” ujar Moelyono terbahak.

Walau begitu, di dunia kopi sendiri dikenal sebuah profesi yang disebut “Q-grader”. Ini adalah sebutan bagi orang yang bekerja sebagai pencicip kopi dan disertifikasi oleh Coffee Quality Institute (CQI).

Dalam bahasa Aga, si barista, Q-grader adalah mereka yang lidahnya spesial karena bisa membedakan bebagai bahan dalam minuman kopi.

Q-grader, karena memang memiliki indra perasa lebih peka daripada kebanyakan manusia, bisa meneruskan karier menjadi Sensory Judges World Barista Championship (WBC), atau juri khusus mengecap rasa di kompetisi barista di dunia,

Penilaian merekalah salah satu penentu racikan kopi terbaik, selain keputusan dari “technical judge” dan “head judge”.

Perhatian ke Petani Kopi
Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Jawa Tengah Moelyono Soesilo mengatakan bahwa konsumsi kopi nasional meningkat lima sampai enam persen.

Bahkan, kata dia, tingginya konsumsi kopi lokal yang diiringi pertumbuhan pesat warung, kedai, maupun kafe penyedia kopi menyebabkan menurunnya jumlah ekspor.

Sayang, hal itu tidak diiringi kesiapan di tingkat hulu, yaitu para petani.

“Pemerintah mesti fokus pada perbaikan nasib para kelompok tani dan diarahkan untuk meningkatkan produktivitas,” kata Moelyono.

Ia menilai bantuan yang diberikan pemerintah beberapa kali tidak tepat sasaran. Misalnya, Kementerian Perindustrian disebutnya pernah memberikan bantuan mesin sangrai (roasting) kepada petani kopi.

Moelyono menganggap kebijakan itu aneh karena seolah pemerintah mengarahkan para petani menjadi wirausaha.

“Pernah juga dinas-dinas meminta saya memberikan pelatihan barista (peracik kopi) kepada petani. Ini kan salah kaprah, akhirnya produksi kopi tidak maksimal,” tuturnya.

Produksi kopi Indonesia sendiri masih berada di bawah Vietnam. Moelyono menyebutkan Vietnam bisa memproduksi 3 ton per hektare, sedangkan Indonesia hanya sekitar 1 ton/hektare.

Produser film “Filosofi Kopi” Handoko Hendroyono membandingkan pertanian kopi antara Vietnam dan Indonesia.

Dengan luasan lahan lebih kecil, kata Handoko, kualitas dan priduktivitas kopi di Vietnam lebih baik dengan menghasilkan kopi lima kali Indonesia.

Pemerintah Vietnam, lanjut dia, sangat serius memperhatikan industri ini. Terbukti, mereka khusus membangun sedikitnya 20 danau buatan untuk mengairi pertanian kopi sehingga kualitas dan kuantitas terjaga walau musim kering.

AEKI dalam laman resminya menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara produsen kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia.

Sekitar 67 persen kopi Indonesia diekspor dan sisanya dimanfaatkan untuk konsumsi dalam negeri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *