Cari Jodoh di Ayunan Kabuenga Wakatobi

Aksi, Travel – Ketika berkunjung ke Wakatobi kemarin, bertepatan dengan Festival Kabuenga . Dalam satu tahun, festival ini diselenggarakan satu kali. Ini sudah menjadi agenda tahunan kabupaten yang dikenal dengan keindahan bawah lautnya itu. Biasanya, diselenggarakan bulan Desember. Tetapi, tahun ini dijadikan satu paket dengan momen Indonesia Sail.

Jadi, setelah para peserta dari berbagai negara selesai mengikuti Bunaken Sail, perjalanan dilanjutkan ke Wakatobi. Mereka datang dengan perahu-perahu mereka atau yacht. Jadilah, acara Wakatobi Sail. Dan, Kabuenga satu dari rangkaian kegiatan. Hugua (bupati Wakatobi) ingin memanfaatkan Indonesia Sail untuk mempromosikan Wakatobi.

Acara sore itu dimulai sekitar jam 16.00 WITA. Turis lokal dan asing, wartawan media cetak dan elektronik, para pengisi acara dan masyarakat lokal berbaur bersama di Lapangan Merdeka. Lapangan Merdeka ini mungkin kalau di Jawa seperti alun-alun.

Terletak di depan kantor bupati Kabuenga, dulunya digunakan sebagai ajang mencari jodoh. Mengapa mencari jodoh harus diacarakan segala? Jaman dulu kala, ini masuk akal. Lelaki dan perempuan tidak pernah bisa saling ketemu.

Para lelaki ada di laut mencari ikan atau bekerja di rantau. Sedangkan para perempuan berada di daratan alias di dalam rumah. Jadinya, mereka susah bertemu. Tidak ada telepon, apalagi internet. Nah, dalam Kabuenga ini para lelaki dan perempuan dipertemukan. Mereka semua berkumpul di lapangan.

Dalam prosesi ini, para perempuan berjualan makanan dan minuman. Lelaki yang tertarik dengan perempuan itu, akan membeli makanan ataupun minumannya. Dari transaksi jual beli makanan ini diharapkan lelaki akan melanjutkan hubungannya dengan mengunjungi rumah si perempuan. Istilah keren jaman sekarang, kencan gitu lhoh.

Tapi, dalam Kabuenga di tahun 2009 ini, festival ini tidak lagi dijadikan ajang cari jodoh. Lelaki dan perempuan sudah menemukan cara tersendiri untuk mencari jodoh. Peristiwa ini hanya menjadi moment budaya yang patut terus dilakukan.

Sore itu, mbak-mbak cantik dari kantor di lingkup satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Kabupaten Wakatobi berkumpul dan duduk manis di lapangan. Di hadapan mereka, tersaji nampan-nampan cantik berisi masakan khas Wakatobi. Seperti misalnya, kasuami dan kasuami pepe, nasi bambu dan lepat. Kasuami dan Kasuami pepe adalah makanan khas Wakatobi yang berasal dari singkong.

Singkong menjadi makanan pokok di wilayah ini. Orang Wakatobi lebih kenyang makan singkong daripada makan nasi. Bentuk kasuami mirip dengan thiwul kalau di Jawa. Sedangkan kasuami pepe, lebih bentuknya seperti lemper. Bulat-bulat, dan ada isinya abon ikan. Kalau untuk nelayan, lebih memilih kasuami pepe, karena bisa tahan beberapa hari ketika dibawa berlayar ke laut.

Tidak ketinggalan disajikan juga, berbagai olahan masakan laut. Tampak segar-segar. Mulai ikan tuna sampai dengan lobster.

Selain menampilkan makanan dan minuman khas Wakatobi, tetapi juga beberapa prosesi lainnya. Seperti, duduk di ayunan, tarian-tarian dari empat pulau (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko) dan prosesi Bangka mbule-bule yang semacam prosesi membersihkan balak. Sebagai pembuka festival Kabuenga, bupati Hugua dan istrinya, Ratna Dewi diayun oleh dua orang cewek manis berbaju hijau. Ayunan ini menurutku antik. Hanya dibuat dengan dua bilah bambu. Heran juga ya cukup kuat menahan berat badan orang-orang yang mencoba berayun. Ketika dua minggu kemudian aku kembali ke tempat ini, ayunan itu masih saja tegak berdiri. Dan, dipakai anak-anak SD untuk main ayunan.

Karena festival ini dulunya ajang mencari jodoh, sejumlah tari-tarian yang disajikan melambangkan pernikahan. Misalnya saja, ada satu tarian dari Kaledupa Selatan (*maaf, nama tariannya lupa, karena diucapkan dengan bahasa lokal. Berusaha kuingat tapi tetap saja lupa. :D*) yang ditarikan oleh delapan orang gadis.

Tarian itu menggambarkan masa pingit bagi anak gadis sebelum hari pernikahan. Selama masa pingit ini, mereka diharuskan untuk memakai bedak dingin. Powder ini berasal dari campuran beras ketan dan kunyit. Tradisi memakai bedak dingin ini lazim digunakan oleh perempuan di Wakatobi. Kearifan lokal tidak saja demi kulit wajah yang halus, tetapi juga mengurangi efek panas karena sengatan matahari.

Karena Kabuenga tahun ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, makanan yang disajikan mbak-mbak ini tidak dijual. Tetapi, dijadikan santapan menu berbuka puasa. Ketika sirine berbunyi dari masjid agung, pertanda sudah Maghrib, para penonton beramai-ramai orang menyerbu lapak-lapak yang berisi makanan tadi.

Semua berbaur bersama menyantap ronso, yaitu es degan gula merah yang dicampur dengan jahe. Seketika dahaga menghilang. Lalu, orang-orang juga beramai-ramai menyantap makanan dalam festival itu. Mereka bebas memilih lapak dimana dia mau menikmati makanannya. Semua lapak menawarkan makanannya kepada para penonton. Kita tinggal memilihnya. Bisa merasakan hidangan di lapak manapun. Karena, kita selalu disambut ramah di lapak-lapak itu.

Orang ramai-ramai bersila, dan makan besar. Buka puasa hari itu, rasanya lega sekali, setelah seharian terpanggang matahari Pantai Sousu dan Hutan Motika Lebho.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *