Industri Mebel Butuh Trading House

Industri Mebel Butuh Trading HouseJakarta – Industri mebel membutuhkan trading house atau rumah dagang terintegrasi untuk mendongkrak kinerja, daya saing, dan ekspor, sehingga menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi.

“Potensi industri mebel dan kerajinan ini sangat besar karena sebagian besar bahan baku ada di Indonesia, seperti kayu dan rotan. Namun sayang kurang efisien, padahal produktivitasnya bisa meningkat lagi,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rachmat Gobel di Jakarta, Minggu.

Akhir pekan ini Rachmat bertemu dengan sejumlah pelaku usaha mebel dan kerajinan Surabaya dan Mojokerto, Jawa Timur.

Anggota Komite Inovasi Nasional (KIN) ini mengunjungi bengkel kerja PT Kurnia Anggun yang 99 persen produksi mebelnya diekspor ke Amerika Serikat dan PT Prospek Era Manunggal yang memproduksi mebel rotan dan marmer untuk pasar hotel dan perumahan di dalam maupun luar negeri.

Ia menilai industri mebel menjadi tidak efisien ketika menyimpan stok bahan baku seperti kayu dan rotan berbulan-bulan, karena khawatir tidak mendapat pasokan. “Stok yang banyak itu biaya,” ujar pengusaha nasional itu.

Demikian pula dengan sisa kayu yang terbuang itu, kata dia, bisa dimanfaatkan industri mebel lainnya. Tata ruang produksi pun bisa dibuat lebih nyaman dan efisien dalam penggunaan energi.

“Kalau ada trading house yang bisa memasok bahan baku dan informasi pasar, industri mebel ini akan semakin efisien dan berdaya saing,” kata dia.

Hal senada dikemukan pemilik PT Kurnia Anggun, Y Sumarno yang menyebut rumah dagang (trading house) akan sangat membantu industri mebel dan kerajinan untuk mendapatkan bahan baku dengan mudah, mulai dari kayu dan rotan, hingga aksesoris dan bahan penolong seperti veneer.

Apalagi kata dia, saat ini pelaku usaha mebel dan kerajinan kesulitan mengikuti kebijakan pemerintah tentang sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang biayanya besar.

“Kalau ada trading house biar dia yang mengurus SVLK dan memasok kayu sesuai ketentuan pemerintah itu,” ujar Sumarno yang sudah lebih dari 20 tahun menjadi pengusaha mebel.

Pembentukan trading house harus didorong demimempermudah industri mebel dan kerajinan, tidak hanya akses bahan baku, tapi juga informasi pasar dan pembiayaan.

Sekjen Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Abdul Sobur mengatakan, selama ini sekitar lima persen dari bahan baku industri mebel dan kerajinan masih diimpor, terutama aksesoris.

“Kalau ada trading house, dia bisa bekerja sama dengan industri lokal untuk membuat aksesoris di dalam negeri,” kata Sobur.

Industri mebel dan kerajinan Indonesia, lanjut dia, berada pada urutan 13 dunia, dengan ekspor 1,7 miliar dolar AS tahun lalu. “Tahun ini, saya yakin ekspornya bisa menembus dua miliar dolar AS,” ujarnya.

Hal itu berdasarkan peningkatan pesat ekspor mebel dan kerajinan Jawa Timur yang menembus angka 800 juta dolar AS pada semester pertama 2014. “Jatim sendiri memberi kontribusi 65 persen ekspor mebel Indonesia,” kata Sobur.

Saat ini, tambah dia, industri mebel dan kerajinan menyerap 500 ribu tenaga kerja secara langsung dan 2,5 juta orang bekerja di industri pendukungnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *