Ironi di Balik Bisnis Gas

Ironi di Balik Bisnis GasAksi.co – MEMBACA gesekan antara PT Pertamina Gas (Pertagas) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), keduanya BUMN, saya tersenyum (tapi silakan kalau Anda mau membaca, saya mengelus dada).

Apalagi kalau kita membaca isu-isu yang menjadi sumber gesekan. Pertagas ingin penerapan open access untuk semua jaringan pipa gas, termasuk yang dimiliki PGN, sebagaimana sudah diatur oleh menteri ESDM. Lalu, PGN, yang membangun sebagian jaringan distribusi gas ke pelanggan di daerah gemuk (namun masih belum optimal) dengan dana sendiri, merespons gagasan Pertagas dengan menyatakan ingin mengakuisisi Pertagas. Pertamina, induk usaha Pertagas, kemudian menimpali dengan rencana untuk mengakuisisi PGN. Alasannya karena Pertamina punya gas.

Jadi yang satu punya jalan tapi tak punya sumber gas, sedangkan yang satu punya gas namun belum punya banyak jalan. Bukankah kalau punya gas memadai (sehingga tak perlu membeli dari pihak ketiga) dan punya infrastruktur yang intensif, industri gas Indonesia akan menjadi lebih kompetitif? Maksud saya, kita semua akan mendapatkan gas dengan harga murah dan tersedia setiap saat. Intinya, gesekan itu ramai sekali. Apalagi beberapa kalangan kemudian ikut menabuh gendang.

Ada pengamat, ada anggota DPR. Saya lalu bertanya- tanya, apakah semua kegaduhan tersebut menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat terkait dengan pemakaian gas? Bukankah gas telah menjadi barang kebutuhan pokok yang jauh lebih penting ketimbang mobil atau sepeda motor?




Merana karena Gas

Saya mulai dari masalah yang paling sederhana. Seorang ibu tertegun melepas anak-anaknya berangkat ke sekolah dan suaminya ke tempat kerja tanpa sempat sarapan. Padahal, hari itu anak-anaknya akan menjalani ujian tengah semester, dan suaminya harus memimpin rapat penting di kantor. Lalaikah sang ibu? Sama sekali tidak. Ibu itu sudah bersusah-payah bangun sejak dini hari dan bersiap memasak. Namun, apa mau dikata. Ketika dia menghidupkan kompor, ternyata gas habis. Dan, sepagi itu belum ada toko penjual gas yang buka.

Andai kata rumah sang ibu itu sudah terkoneksi dengan jaringan pipa gas, tentu dia tak akan menghadapi masalah tersebut. Akhirnya ibu itu hanya bisa meminta maaf kepada anak-anak dan suaminya. Dan, anak-anak beserta suaminya berangkat dengan wajah merengut. Sang ibu merasa bersalah. Itu contoh sederhana. Mari kita meningkat ke masalah yang lebih besar lagi. Di Jakarta, Pemprov DKI Jakarta terus menambah jumlah armada busway-nya.

Semenjak jalur busway disterilisasi dari kendaraan lainnya, jumlah pengguna busway terus meningkat. Namun, kendala membayang. Jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) masih sangat terbatas. Padahal, seluruh busway (bus Transjakarta) menggunakan gas sebagai BBM-nya. Setiap hari rata-rata satu buah busway mesti mengisi BBM sebanyak dua kali. Dengan terbatasnya SPBG, kelancaran operasional busway pasti akan terganggu.

Di Batam, akibat kurangnya pasokan gas, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terpaksa melakukan pemadaman bergilir selama dua hari berturutturut, 21-22 Desember 2013. Secara nasional, akibatnya kurangnya pasokan gas, PLN gagal melakukan efisiensi bahan baku untuk pembangkit listriknya. Nilai inefisiensi itu mencapai Rp17,9 triliun. Industri keramik setiap hari harus menanggung rugi Rp50 miliar karena kurangnya pasokan gas.

Dan harap maklum, sebagai komisaris perusahaan keramik, saya harus mengatakan kualitas industri ini amat ditentukan oleh gas yang dipasok perusahaan gas. Jadi jangan salahkan pengusaha kalau mereka sulit bersaing menghadapi keramik asal China, apalagi Italia. Industri pupuk kita juga sudah lama mati suri karena kekurangan gas. Saya bisa menghabiskan seluruh tulisan ini dengan daftar masalah terkait penggunaan gas. Namun, Anda pasti tak akan mau membacanya.

Membosankan dan seakan tak ada ujungnya. Padahal, Indonesia adalah negeri pelopor pembuat gas untuk energi, yang peluangnya dulu dilihat oleh Ibnu Sutowo yang geram melihat gas dibakar sia-sia saat Pertamina mendapatkan minyak. Setiap mengebor minyak selalu saja ada gas di atasnya. Dan agar pembaca maklum, cadangan gas kita yang bisa dieksplorasi masih sangat besar. Akan tetapi, mari kita coba membaca semua masalah tersebut dari sisi yang lain.

Anda pasti tahu bukan…Ya betul, semua masalah tadi menggambarkan betapa masih tinggi permintaan gas di masyarakat. Jadi, pasar baik untuk PGN atau Pertagas, atau bahkan perusahaan lain sekalipun, masih terbuka lebar. Sangat lebar. Tapi di tengah potensi itu, kita cuma bisa gigit jari dan merana karena gas.




Kalau Kekurangan Mengapa Diekspor?

Baiklah, tentu kita tak bisa senaif itu melihat masalahnya. Pastiada masalah-masalah yang serius sehingga menyebabkan pasokan gas yang berlimpah sampai tidak bertemu dengan permintaannya. Ada apa? Masalah utamanya jelas infrastruktur. Kita sangat tertinggal dalam pembangunan infrastruktur. Panjang jalan kita tidak banyak bertambah, listrik kita masih sangat kurang, air bersih masih menjadi masalah serius, kongesti masih terjadi di pelabuhan-pelabuhan kita, dan penumpukan penumpang terjadi di sejumlah bandara.

Dan, terkait dengan gas, kita juga sangat tertinggal dalam membangun jaringan pipa transmisi dan distribusi gas. Keterbatasan jaringan distribusi inilah yang menyebabkan gas hasil kilang tidak bisa sampai ke tangan pelanggan. Ini pulalah yang membuat wajah industri gas kita terkesan sangat ironis. Bayangkan, kita mengekspor sekitar 50% dari total produksi gas, padahal di dalam negeri kita masih sangat kekurangan. Saya tahu, sebagian kita ada yang malah berbalik curiga.

Maksudnya, pemerintah sengaja enggan membangun jaringan distribusi supaya kelebihan produksi gas tetap bisa diekspor. Atau, katakanlah, untuk melanggengkan ekspor. Kecurigaan seperti itu sah-sah saja. Tapi faktanya adalah jaringan distribusi gas kita memang masih sangat terbatas. Potret ironis lainnya, selain mengekspor, kita juga mengimpor gas. Bagaimana bisa? Untuk mengatasi keterbatasan jaringan pipa gas, kita membangun beberapa Terminal Regasifikasi Terapung, atau biasa disebut Floating Storage Regasification Unit (FSRU).

Setiap FSRU tentu membutuhkan pasokan gas untuk diolah dan kemudian didistribusikan. Gas yang diolah oleh FSRU di Teluk Jakarta, misalnya, dipakai untuk memasok pembangkit PLN di Muara Karang dan Tanjung Priok serta industriindustri di Jawa Barat. FSRU ini tak boleh sampai menganggur atau berproduksi di bawah kapasitasnya. Kalau itu sampai terjadi, operator FSRU bakal merugi. Untuk menjamin agar setiap FSRU memperoleh bahan baku gas yang cukup itulah bisa saja kita harus mengimpor gas jika produser LNG domestik enggan memasok kebutuhan gas dalam negeri yang lebih terjangkau harganya.

Begitulah, kondisi gas kita yang ironis itu di mata saya terlihat bak rantai yang saling mengikat. Masyarakat kita kekurangan pasokan gas, karena sekitar 50 persen dari total produksi harus kita ekspor. Namun, kita juga terpaksa mengimpor, karena kelebihan produksi gas ternyata tidak bisa didistribusikan akibat keterbatasan infrastruktur. Jadi, ketimbang ribut-ribut memikirkan siapa yang sebaiknya mengakuisisi siapa, minta saja keduanya berkolaborasi membangun jaringan infrastruktur gas, sehingga pipa gas untuk satu pulau tersambung dan terintegrasi (seperti Trans Sumatera pipeline atau Trans Java pipeline) sehingga muncul zona-zona ekonomi baru di berbagai pulau yang ada di Indonesia.

Namun, ini jelas perlu dukungan masyarakat di lokasi dan kerja keras regulator setempat untuk merealisasikan distribusi akses gas secara merata. Itu terpaksa dilakukan para pelaku usaha kalau pemerintahnya malas membangun infrastruktur. Harus diakui pengambil kebijakan ekonomi kita belum bisa membedakan antara ekonomi dan bisnis, sehingga sesuatu yang harus dilihat dari kepentingan ekonomi (pembangunan, kemajuan), selalu dilihat dari hitunghitungan bisnisnya.

Padahal keduanya punya acuan yang berbeda. Akses gas yang merata di berbagai daerah secara langsung dapat berdampak bagi pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Baik Pertagas maupun PGN dapat bersaing secara sehat di bisnis gas, termasuk di beberapa lokasi yang sudah lebih dahulu dikuasai dengan persaingan cara baru yang kadang bisa berkolaborasi (coopetition game) dengan bermain win-win, bukan win or lose game. Game ini akhirnya akan dinikmati bersama: pelaku usaha, pemerintah dan tentu saja konsumen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed