Masjid yang Damai dan Sunyi di Laos

Hasil gambar untuk Masjid Azhar di VientianeTidak banyak banyak yang berubah dari Masjid Azahar di Vientiane, Ibu Kota Laos dibanding tujuh tahun lalu, saat negara itu menjadi tuan rumah SEA Games 2009.

Masjid dengan kubah berwarna kuning keemasan tersebut dan dinding warna krem, masih tetap mempertahankan gapura dengan tulisan beraksara Laos, bukan Arab.

Halaman depan yang cukup luas masih berupa tanah liat dan bercampur kerikil dan tidak ada tanaman penghias sama sekali. Meski di gapura depan tertulis dengan jelas nama Masjid Azahar, tapi pada bagian lain juga ditulis Alazhar, atau Al Azhar.

Di ruang belakang yang juga berfungsi sebagai ruang mengaji, masih tergantung dua kipas angin berwarna putih, dengan lantai keramik berwarna kuning. Disamping ruang serba guna, terdapat tempat berwudhu dan sebuah keranda besi yang ditempatkan di bagian belakangnya.

Karena sebagian besar dari jemaah Masjid Azahar tersebut adalah keturunan Kamboja, maka Masjid tersebut juga lebih dikenal dengan nama Masjid Kamboja.

Saat berlangsungnya SEA Games 2009, Masjid Azahar menjadi saksi bisu ketika seorang wartawan harian Republika, Lukman Hakim yang meninggal akibat serangan jantung saat bertugas dan disholatkan di masjid yang berlokasi di Phonsawattay Village, Distrik Sihkottabong, Kota Vientiane itu.

“Ya.. saya masih ingat ketika Anda dan kawan-kawan datang beramai-ramai ke Masjid ini untuk mensholatkan almarhum,” kata Imam Masjid, Vina Keobandit kepada Antara yang kembali berkunjung ke masjid tersebut pada pertengahan November lalu.

Saat berkunjung pada waktu Ashar, terlihat hanya sekitar 20 orang yang sholat berjamaah dengan membentuk dua baris (saf), dan hampir semuanya berpeci putih. Sama sekali tidak terdengar suara azan berkumandang atau suara lainnya.

Juga tidak dijumpai kaum perempuan di komplek masjid yang berada di atas tanah seluas 700 meter persegi itu.

Suasana di Masjid tersebut seperti menggambarkan kondisi umat Islam secara keseluruhan di Laos, yaitu sunyi dan sepi, tapi damai.

Menurut Keobandit yang saat ditemui mengenakan baju gamis warna putih dan peci hitam, penganut Islam sangat sedikit di Laos, hanya sekitar 700 orang dari total tujuh juta penduduk.

Keadaan tersebut menempatkan Laos sebagai negara dengan penduduk Muslim terkecil diantara negara anggota ASEAN lainnya.

Meski pemerintah Laos menganut paham komunis, sama sekali tidak ada bentuk diskriminasi oleh pemerintah terhadap penganut Islam, atau pun agama lain.

“Sepanjang tidak berpolitik, sama sekali tidak ada larangan dari pemerintah bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah. Karena itu kehidupan masyarakat Muslim disini terasa cukup nyaman, meski sangat minoritas,” kata Keobandit.

Dari sekitar 700 orang muslim di Laos, 200 diantaranya adalah warga keturunan Kamboja dan mereka umumnya adalah yang melarikan diri dari kekejaman rejim Pol Pot saat terjadi pertumbahan darah di negara bekas jajahan Perancis itu.

Pada 1970-an, jumlah Muslim Kamboja yang datang ke Laos semakin banyak ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Muslim Cham dari tanah Kamboja.

Menurut Keobandit yang juga didampingi pengurus Masjid lainnya Ahmadokhan Ungkary, sebagai negara berideologi komunis, konstitusi Laos memberi kebebasan kepada rakyat untuk menganut atau tidak menganut agama.

“Kita bebas melakukan ibadah apa saja, ataupun melakukan dakwah. Tapi kita harus membangun sendiri rumah ibadah karena tidak ada bantuan dari pemerintah,” katanya.

Hari keagamaan Islam seperti Idul Fitri atau Idul Adha, atau pun Hari Natal tidak dinyatakan sebagai hari libur, bahkan hari keagamaan Budha, kecuali tahun baru yang dinyatakan sebagai hari libur.

“Meskipun hari-hari keagamaan tersebut tidak dinyatakan sebagai hari libur nasional, tapi lucunya masyarakat tidak pergi ke kantor untuk bekerja,” katanya menambahkan.

Selain Masjid Azahar, ada satu lagi Masjid di Vientiane, yaitu Masjid Jami dan yang merupakan Masjid pertama dan tertua di Laos dengan imam Haji Moulavi Kamarudeen Noori dari Madras, Inda.

Berbeda dengan Masjid Azahar yang didirikan keturunan Kamboja, Masjid Jami dibangun oleh pendatang asal Pakistan dan Bangladesh.

Jemaah Masjid tersebut umumnya berasal dari staf kedutaan yang bertugas di Vientiane, termasuk Indonesia dan Malaysia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *