Rieke Diah Pitaloka Harap Pemerintah Jalankan UU BPJS

Rieke Diah Pitaloka Harap Pemerintah Jalankan UU BPJSTenaga kerja dan jaminan sosial merupakan bidang prioritas yang dicanangkan Pemerintahan Soekarno dalam Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

Hal tersebut masih relevan dengan situasi saat ini. Pasalnya, di negara manapun jaminan sosial memiliki peran krusial bagi pekerja dalam mengantisipasi dampak negatif pasar bebas dan globalisasi, yang menyebabkan pekerja berada pada posisi rentan secara sosial dan ekonomi.

Semenjak berlakunya UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka Indonesia menganut sistem Jaminan Sosial yang tidak lagi diselenggarakan oleh badan yang menganut “for profit body”.

Begitu kata anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi, Minggu (30/4).

Kata dia, sejak UU BPJS berlaku maka jaminan sosial tidak lagi diselenggarakan oleh empat BUMN, yaitu PT. Jamsostek, PT. ASKES, PT TASPEN, dan PT ASABRI. Dua Badan nirlaba (not for profit) ditunjuk sebagai penyelenggara, yaitu BPJS Kesehatan (Jaminan Kesehatan) dan BPJS Ketenagakerjaan (Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian). Dengan sistem pembiayaan “cost sharing” antara pekerja dan pemberi kerja.

“UU BPJS pasal 15 menegaskan bahwa setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta di dua BPJS tersebut. Pasal 55 menyatakan bahwa perusahaan yang tidak membayarkan iuran BPJS yang menjadi tanggung jawabnya mendapatkan sanksi berupa: pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda hingga Rp 1 miliar,” tegasnya.

Tahun 2016 data BPS menyatakan jumlah angkatan kerja 120.647.697 orang. Diperkirakan jumlah pekerja yang terserap sektor formal hanya 42,24 persen atau setara dengan 48,5 juta orang saja.

Sementara kepesertaan di BPJS Kesehatan, berdasarkan data per 28 Februari 2017 adalah 10.127.263 orang pekerja. Dengan rincian perusahaan swasta 9.626.631 pekerja dan BUMN baru sebanyak 500.632 pekerja.

Untuk BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2016 tercatat jumlah peserta 22.600.000 orang pekerja. Dengan rincian, swasta 22.025.246 dan BUMN sebanyak 574.574 orang pekerja.

Rieke melanjutkan bahwa dari data di atas terlihat kepesertaan BPJS, termasuk di BUMN, masih minim.

“Ini memperlihatkan ketidakpatuhan, terutama BUMN yang seharusnya menjadi contoh pertama ketaatan terhadap UU BPJS,” sambungnya.

Data ini juga memperlihatkan bahwa mayoritas pekerja Indonesia belum mendapatkan lima jamianan sosial. Hal ini sangat berbahaya bagi pekerja Indonesia dan keluarganya karena masih tingginya resiko kecelakaan kerja hingga kehilangan pekerjaan, serta kondisi tanpa pelindungan saat tanpa kerja dan pasca kerja.

“Data itu juga menunjukkan adanya ketidaksinkronan jumlah peserta di BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kepesertaan BPJS Kesehatan lebih sedikit dari BPJS Ketenagakerjaan,” lanjut politisi PDIP itu.

Selain itu, kinerja Dewan Jaminan Sosial Nasional, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebagai penyelenggara, termasuk Dewan Pengawas di kedua BPJS juga nampak belum maksimal.

“Untuk itu, saya mendukung pemerintah untuk lebih serius dalam menjalankan UU SJSN dan BPJS. Dan berani memberikan sanksi kepada pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta di kedua BPJS,” tegas Rieke.

Selain itu, ia juga mendukung pemerintah untuk pertama kali mendorong BUMN beserta anak-anak perusahaannya menjadi contoh dalam memenuhi kewajiban terjaminnya Lima Jaminan Sosial bagi seluruh pekerjanya apa pun status kerjanya, sesuai perintah UU.

“Termasuk mendukung pemerintah untuk segera memperbaiki berbagai regulasi turunan UU BPJS agar watak jaminan sosial tidak berubah menjadi jaminan komersial yang bukan melindungi, tetapi malah menambah beban pekerja Indonesia, pada khususnya dan seluruh rakyat pada umumnya,” pungkas mantan anggota Pansus UU BPJS itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *