Rekonstruksi dan Rehabilitasi Harus Mengacu Peta Geologi

Rekonstruksi dan Rehabilitasi Harus Mengacu Peta GeologiKegiatan rekontruksi dan rehabilitasi atas Kota Palu, Donggala, Sigi Biromoru, dan wilayah sekitarnya, diharapkan mengacu pada peta geologi terbaru, agar permukiman warga serta fasilitas publik tidak lagi berada di titik titik rawan bencana. Harapan ini disampaikan Sonny H.B. Harmadi, Pejabat Pelaksana Tugas Deputi Kordinasi Kerawanan Sosial dan Dampak Bencana di Kementerian Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), terkait dengan berakhirnya masa tanggap darurat Gempa Palu-Donggala tanggal 11 Oktober ini.

‘’Pengaturan tata ruang untuk daerah rawan gempa bumi ini harus memperhatikan potensi kebencanaannya, dan menyediakan tempat yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, bagi masyarakat,’’ ujar Sonny Harmadi di kantornya, Jalan Merdeka Barat, Jakarta (10/10).

Sonny Harmadi sendiri, atas amanat langsung dari Menko PMK Puan Maharani, melakukan kondinasi dengan lembaga-lembaga di bawahnya, terutama Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB), agar secepatnya mengambil inisiatif terkait tata ruang. Mengacu pada UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menurut Sonny, pemerintah pusat, antaralain melalui BNPB, dapat melakukan pembinaan dan pengawasan atas rencana tata ruang di daerah.

Meski sangat mendesak, menurut Sonny, rekonstruksi dan rehabilitasi di daerah paparan gempa Palu-Donggala itu tidak berarti harus terburu-buru. ‘’Kita harus pastikan dulu mana daerah yang aman dan mana yang rawan,’’ Sonny menambahkan. Sonny sependapat dengan pandangan sejumlah geolog bahwa daerah-daerah yang terbukti menjadi incaran bencana, seperti Bolaroa di Palu dan Petobo di Sigi, tidak layak untuk hunian warga dan sarana publik. ‘’Kita harus cari lokasi pengganti yang aman,’’ ujar Sonny pula.

Sonny mengakui bahwa daerah rawan di Palu, Donggala dan Sigi, cukup luas. Tidak semua hancur diguncang gempa 28 September lalu. Namun, Sonny memberikan catatan bahwa di daerah dengan tipe seperti itu harus dipikirkan hal ihwal mitigasi bencananya. Di Kota Palu misalnya masih banyak bangunan yang berdiri di atas tanah aluvial berpasir yang mudah berubah menjadi lumpur yang lembek (gejala likuifaksi) ketika serangkaian getaran gempa terjadi, ‘’Perlu ada ruang terbuka dan jalur evakuasi yang memadai, agar warga cepat bisa menyelamatkan diri bila gempa melanda,’’ ujar Sonny.

Harapan Sonny, masalah mitigasi bencana akibat guncangan gempa, likuifaksi dan tsunami itu terakomodir dalamrencana tata ruang. ‘’Sambil jalan Rencana tata Ruang yang ada bisa diubah agar lebih sesuai dengan perkembangan,’’ katanya pula.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *