Neneng Fitri Usung Tembang Cianjuran & Globalisasi

Neneng Fitri Usung Tembang Cianjuran & GlobalisasiDua puluh tiga tahun yang lalu, seniman Tembang Cianjuran bernama Uking Sukri, memikat perhatian publik kota London, lewat pertunjukan kolaborasi bersama musisi jazz Indonesia terkemuka, Bubby Chen. Kiprah seni mendiang Uking Sukri dilanjutkan oleh putrinya, yaitu Neneng Fitri yang juga mengusung Tembang Cianjuran.

Bakat alam Neneng ditempa lagi lewat pendidikan musik formal di SMKI Bandung (lulus 1995). Selepas dari sekolah yang sebelumnya bernama Konservatori Karawitan (Kokar) itu Neneng menjadi mahasiswi Fikom Unpad dan menuntaskan Strata 1 pada tahun 2001. Artis cantik ini juga mengikuti pendidikan D 3 Dokumentasi Budaya di Fakultas Sastra Unpad. Artis Bandung sekarang berdomisili di Bekasi ini juga menempa bakatnya lewat berbagai lomba nyanyi, khususnya di kancah Pasanggiri Tembang Cianjuran.

Menyukai Tembang Cianjuran sejak kecil membuat Neneng kerasan menggeluti seni musik warisan leluhur Sunda ini. “Tembang Cianjuran menurut saya adalah seni yg adi luhung, baik secara historis maupun materi. Secara historis berawal dari strata sosial kelas menengah keatas. Secara materi, di dalam Tembang Cianjuran senggol apa saja ada, asal kita bisa menempatkannya. Sebagai penembang Cianjuran, saya merasakannya sendiri,” papar Neneng.

Globalisasi

Ditanya tentang prospek Tembang Cianjuran jika dihadapkan dengan trend globalisasi, artis yang sudah merilis sederet album tradisi dan pop Sunda ini menjawab, “Jangan takut Tembang Cianjuran akan tergeser. Karena selagi masih banyak generasi muda yang berminat untuk mempelajari dan mengapresiasinya, Tembang Cianjuran akan terus bertahan. Seperti di dunia fashion, dulu celana cutbray tergeser oleh celana ketat. Sekarang selera trend kembali lagi ke cutbray. Optimis sajalah, dunia pasti berputar. Globalisasi juga khan berjalan dua arah. Dengan globalisasi, Tembang Cianjuran bisa keluar Indonesia, bisa mendunia, dan ini menjadi tanggungjawab Pemerintah, tidak bisa hanya dilakukan oleh seniman,”

Neneng juga tidak menolak ide modifikasi dalam Tembang Cianjuran. Seperti standing performance yang diperagakannya dalam Konser Akbar Musik Sunda di Mapolda Jabar pada 26 Oktober 2014 yang digelar oleh Panaratas
(Paguyuban Seniman Rekaman Tatar Sunda) dan “Gelar Musik Sunda – Mieling Poe Basa Indung Sadunya” yang digelar pada 21 Februari 2015 oleh Panaratas bersama Padepokan Seni Mayang Sunda.

“Selama modifikasi itu berguna untuk memotivasi dan mendinamisasi Tembang Cianjuran, kenapa tidak. Khan melakukannya pun tidak sambil berjingkrak-jingkrak, tetap santun, tetap elegan. Tujuannya khan bukan membunuh karakter tapi mencoba membawa Tembang Cianjuran ke wilayah pertunjukan yang penontonnya umum dan heterogin. Hampir sama dengan gending karesmen, ada yang nyanyi sambil berdiri, ada yang duduk bersimpuh,” tutur artis yang kerap tampil di mancanegara membawa misi kebudayaan Sunda, diantaranya ke Negeri Tiongkok.

YOSIE WIJAYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *