Orang Terkaya Indonesia Sebaiknya Mengubah Brand

Orang Terkaya Indonesia Sebaiknya Mengubah BrandDunia pun terus menerus menabuh genderang perang terhadap rokok. Badan kesehatan Dunia/WHO tidak pernah berhenti mengkampanyekan bahaya rokok. Negara-negara maju di Eropa bergandengan tangan memadamkan api rokok di bibir rakyatnya. Inggris adalah negara yang paling berhasil dalam perjuangan melawan penggunaan tembakau, lalu diikuti oleh Irlandia dan Islandia, masing-masing pada tempat kedua dan ketiga. Turki, bersama dengan Prancis menduduki posisi kelima. Survei paling akhir memperlihatkan negara terburuk dalam mengizinkan pelaksanaan tindakan pengendalian tembakau di Eropa adalah Austria, Jerman dan Swiss.

Bagi pebisnis rokok, itu semua mungkin tidak penting. Mereka hanya memproduksi dan menjual rokok. Resiko ditanggung oleh pengisapnya. Tetapi apakah betul seperti itu? Entahlah. Yang jelas Hartono sepertinya sedang berupaya untuk keluar dari brand sebagai orang terkaya yang kekayaannya diperoleh dari ‘menebar racun’. Pada tahun 2010 Robert dan Michael Hartono menjadi pemegang saham terbesar di Bank Central Asia (BCA). Mereka berdua melalui Farindo Holding Ltd. menguasai 51 % saham BCA. Selain itu, mereka juga memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 65.000 hektare di Kalimantan Barat sejak tahun 2008, serta sejumlah properti di antaranya pemilik Grand Indonesia dan perusahaan elektronik. Salah satu bisnis Group Djarum di sektor ini bergerak di bawah bendera Polytron yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun. Perusahaan Polytron ini kini juga memproduksi ponsel yang sebelumnya hanya meproduksi AC, kulkas, produk video dan audio, dan dispenser. Melalui perusahaan yang baru dibuat yakni Ventures Global Digital Prima, Global Digital Niaga (Blibli.com), mereka juga membeli Kaskus, situs Indonesia yang paling populer.

Hartono membeli BCA. Selain pengembangan bisnis, mungkin juga bertujuan mengubah brand dari produsen rokok menjadi bankir. Namun lima tahun setelah mengakuisisi BCA, brand Hartono tetap sebagai produsen rokok alias ‘penebar racun’. Perkebunan kelapa sawit dan bisnis internet juga tidak bisa mengubah brand tersebut. Hal itu pasti karena bank, perkebunan dan bisnis internet itu tidak mampu mengalahkan pemasukan dari sektor rokok.

Tetapi masalahnya adalah brand itu harus diubah, agar tidak selamanya melekat stempel sebagai ‘penebar racun’. Terlebih lagi di tengah gencarnya dunia ‘menganyang’ asap rokok. Salah satu jalannya adalah masuk ke sektor bisnis yang lebih bermasyarakat, misalnya sektor telekomunikasi dan namanya harus benar-benar dilekatkan sebagai merek dagang. Dimana saat ini hampir semua orang menggunakan handphone.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *