Relaksasi Ekspor Mineral Langkah Mundur Pemerintahan Jokowi

Relaksasi Ekspor Mineral Langkah Mundur Pemerintahan JokowiPengusaha pengolahan dan pemurnian mineral tambang (smelter) menilai rencana relaksasi ekspor mineral merupakan langkah mundur dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Rencana yang didengungkan kembali oleh Pelaksana tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan tersebut diyakini bisa membuat berang investor yang sudah menggelontorkan uang banyak demi membangun smelter.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handjojo mengatakan, jika pemerintah benar-benar merevisi ketentuan wajib membangun smelter bagi perusahaan yang ingin mengekspor bahan galian tambangnya, maka hal tersebut bisa merusak reputasi pemerintah di mata investor.

Pasalnya, wacana ini merupakan langkah mundur dari semangat hilirisasi mineral yang digaungkan bertahun-tahun lalu.

“Sehingga dari kami, ada baiknya pemerintah menimbang ulang wacana ini. Alasannya, ini investasi yang nilainya besar, investor yang sudah ada di Indonesia bisa marah. Nama baik pemerintah bisa hancur,” ujar Jonatan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (2/9).

Ia menjelaskan, relaksasi ekspor tak boleh dilakukan dengan alasan apapun. Apalagi kalau alasan utamanya memberi waktu lebih panjang bagi perusahaan tambang untuk mengumpulkan uang, yang nantinya digunakan untuk membangun smelter.

Menurut Jonatan, perusahaan yang benar-benar berniat bangun smelter pasti sudah mempersiapkan dana tersebut untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Mineral dan Batubara.

Selain itu, proporsi kas internal yang wajib disediakan dalam membangun smelter hanya diwajibkan sebesar 30 persen dari total investasi.

Sehingga menurutnya, perusahaan pasti bisa melanjutkan pembangunan smelter dengan mencari pinjaman perbankan. Ia meyakini, perbankan pasti akan memberikan pinjaman kalau proyek tersebut bankable.

“Jadi intinya, perusahaan yang membangun smelter adalah perusahaan yang benar-benar punya dana dan bisa cari dana. Kalau sudah begitu, seharusnya tak ada istilah proyek berhenti di tengah jalan,” katanya.

Pembangunan proyek smelter di tengah jalan menurutnya hanya bisa terjadi jika nilai jual komoditas sedang turun di pasaran. Ia mencontohkan beberapa proyek smelter bijih nikel yang terhambat akibat harga nikel yang turun.

“Namun sekarang, harga nikel kan sudah meningkat lagi. Banyak juga yang meneruskan proyek smelter nikelnya. Intinya, bangun smelter bukan seperti bangun rumah, yang kalau uangnya habis bisa langsung disetop,” jelas Jonatan.

Akumulasi US$12 Miliar

Di samping itu, ia menganggap data smelter yang dimiliki pemerintah juga kurang valid. Menurutnya, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hanya menyebutkan empat smelter yang berfungsi dengan baik sampai saat ini.

Sebaliknya, asosiasi mengatakan ada 27 smelter yang telah terbangun dengan akumulasi nilai investasi US$12 miliar sejak 2012.

“Siapa bilang investasi smelter tidak bergairah? Nyatanya data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan industri pengolahan logam adalah penyumbang realisasi terbesar,” imbuhnya.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian mengaku belum tahu wacana pemerintah menunda kewajiban bagi perusahaan tambang untuk memiliki smelter sendiri. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, instansinya akan segera mengonfirmasi rencana itu ke Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.

“Kami belum tahu wacana tersebut. Kami akan segera konfirmasi dan koordinasikan dulu dengan Ditjen Minerba,” jelasnya.

Pemerintah Lempar Wacana Relaksasi Ekspor Mineral

Sebagai informasi, pemerintah kembali lagi melempar wacana relaksasi ekspor mineral, yang direncanakan masuk ke dalam revisi Undang-Undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba). Peraturan ini dibuat demi memberikan rasa keadilan bagi semua perusahaan tambang.

Pasalnya, tak semua perusahaan bisa membangun smelter secara cepat. Terlebih, bagi perusahaan smelter yang sedang kekurangan dana.

“Teknisnya sedang dibicarakan, tapi kami rasa ini berkeadilan. Karena ada beberapa perusahaan yang mungkin sudah membangun smelter 25 persen, 35 persen, tetapi berhenti karena cash flow-nya kurang. Maka dari itu, kami berikan relaksasi ekspor mineral, agar cash flow-nya lancar dan bisa bangun smelter,” ujar Luhut Panjaitan, kemarin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed